Mendagri Tito Karnavian: Sedang Saya Pikirkan Menerapkan Sistem E-Voting

oleh -231 Dilihat
oleh

TIRAS.id –Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dilakukan seretak pada 23 September 2020 nanti.

Ada 270 daerah yang menggelar pilkada serentak. Dengan rincian sembilan pemlihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.

Sembilan provinsi yang akan melaksanakan pemilihan gubernur meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah.

Terdapat dua provinsi yang seluruh daerah kabupaten/kotanya tidak melaksanakan pemilihan pada 2020 mendatang, yaitu Provinsi Aceh dan DKI Jakarta.

Diskusi publik di sebuah hotel di Jakarta Selatan bertema, “Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan”.

Acara yang berlangsung di Jakarta , Senin 09/03/2020 itu membahas sekaligus mempertanyakan sistem E-voting, “Apakah layak diterapkan di Pemilu di Indonesia?”

Tampak hadir dalam diskusi tersebut, para aktivis pro demokrasi yang tergabung dalam PGK (Perhimpunan Gerakan Kebangsaan).

Sebut saja Hariman Siregar yang dikenal sebagai aktivis Malari 74, mantan anggota DPR sekaligus Ketua Umum PGK, Bursah Zarnubi, serta pengamat militer, Conni Rakahundini Bakri.

Kemudian ada Prof Dr Siti Zuhro dari LIPI  serta Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, dan LSM pemerhati Pemilu di Indonesia.

Diskusi mengenai semangat atau spirit di balik Pemilu termasuk di Pilkada, adalah untuk kepentingan demokrasi, partisipasi politik rakyat dan juga untuk seleksi pencarian pemimpin untuk kepentingan legitimasi pemerintah.

Terkuak juga, adanya ekses-ekses atau dampak negatif dari pemilu. Bahwa terjadi “keterbelahan” di masyarakat yang mengancam integrasi bangsa dan mengganggu kerukunan hingga melanggengnya politik identitas.

Munculnya konflik yang mengandung kekerasan serta ‘high cost politics’ atau biaya tinggi yang harus dikeluarkan oleh kontestan Pilkada dan oleh  pemerintah adalah beberapa contoh empirik dari sistem pemilihan kita baik Pilpres ataupun Pilkada.

“Kita harus memikirkan cara-cara untuk mengurangi semua dampak negatif, dengan tetap menjaga agar Pemilu atau Pilkada tetap demokratis dan tetap menjamin hak-hak konstritusional masyarakat,” ujar Tito yang dikenal serius memperbaiki kulitas demokrasi dan sistem Pilkada di Indonesia.

Mantan Kapolri ini selalu rajin berdiskusi dengan hampir semua kalangan kompeten untuk mengembangkan sistem Pemilu dan Pilkada yang efektif dan berkualitas.

Bahkan, atas inisiatifnya, Kementerian Dalam Negeri yang dia pimpin sekarang ini telah menjajagi evaluasi penyelenggaraan Pilkada dengan sejumlah universitas dan lembaga penelitian untuk melakukan evaluasi bersifat akademis dan independen.

“Salah satu alternatif jalan keluar yang sedang saya pikirikan adalah menerapkan sistem E-Voting di dalam pemberian suara,” ungkap Tito memberi contoh sistem E-Voting yang sudah diterapkan di beberapa negara. Bahkan di dalam pemilihan Kepala Desa di Indonesia, berhasil.

“Sistem KTP El di Dukcapil Kemendagri telah menjangkau 98% warga Indonesia yang berhak memiliki KTP yang juga sebenarnya “idem ditto” dengan pemilih,” ujar Mendagri.

Tito memaparkan, sistem akurasi data KTP El juga sudah dengan ‘double filter’,  yaitu dengan identifikasi irisan mata dan sidik jari. Sehingga, tingkat akurasi sangat tinggi untuk mencegah penduduk untuk memiliki KTP ganda.

Gejala politik  “ghost voter” atau “pemilih palsu yang tak berhak” nyaris tak dimungkinkan terjadi bila dua variabel kontrol KTP, scan irisan mata dan sidik jari, diberlakukan bagi pemilih lewat sistem E-Voting.

Artinya, “Dengan dukungan sistem kependudukan yang sangat akurat demikian, maka daftar pemilih akan lebih mudah namun akurat diintegrasikan dalam sistem E-Voting.”

Masih dalam penjelasan Tito, “Lewat E Voting, kita tak perlu lagi membangun ratusan ribu TPS konvensional, tak membutuhkan kertas surat suara, juga tak membutuhkan ratusan ribu tenaga TPS yang semuanya tentunakan sangat menghemat biaya. Tentu keamanan data sistem E-Voting harus tetap diutamakan.”

Prof Siti Zuhro dari LIPI menimpali, bahwa setiap sistem yang dipandang bisa meningkatkan kemudahan dan memperhatikan “keunikan” Indonesia layak dipertimbangkan.
“Inti Pemilu, pada prinsipnya, adalah upaya mengkonversi suara pemilih menjadi dukungan elektoral ke kontestaan atau partai,” ujar Zuhro.
Masih dalam penjelasan Prof Siti Zuhro, bila makna ini kita pegang maka kita harus terbuka ke dalam metode-metode yang menjamin efisiensi dan mengurangi dampak buruk yang bisa merusak demokrasi itu sendiri.
“Kemajuan teknologi seperti E-Voting dapat diadopsi karena hal ini tidak mengurangi hak konstitusional masyarakat,” ujar Siti mendukung ide Tito.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.