Om-om yang Saya Kenal

oleh -466 Dilihat
oleh

TIRAS.id — INILAH potret lelaki dalam novel saya: berkacamata dengan frame plastik hitam tebal, berjas krem mahal bermerek, berdasi snoopy warna kuning, kemeja putih, dan berwajah lelah seperti kena insomnia.

Rambutnya tiga senti, selalu dicukur rapi. Tubuhnya tinggi dan selalu dilumuri minyak wangi (bahkan pada alat kelaminnya).

Lelaki fiktif ini berusia 43 tahun. Ia “pemain” dalam peta perpolitikan nasional tahun 2001.

Dalam cerita saya, ia berselingkuh dengan seorang gadis 16 tahun, muda, naif, cantik, dan pintar: seorang wartawan yang sering mewawancarainya. Laki-laki itu cinta pertamanya dan ia menganggap pria tersebut sebagai sex god.

Ketika melihat laki-laki seperti ini, yang ada di kepala saya adalah citra lelaki yang angkuh, namun sebenarnya lemah dan frustrasi.

Ia hobi selingkuh dengan daun muda, sok berani, sangat egois, munafik (dia tak ingin keluarganya berantakan, tapi tetap selingkuh), dan cenderung menganggap perempuan (muda tentunya) sebagai aset yang harus dimiliki.

Saya bisa melihat tokoh utama perempuan ciptaan saya (pada mulanya) tak lebih dari sekadar jajanan pinggir jalan di samping hidangan utama di rumah. Sekadar variasi dari kebosanan hidup berumah tangga.

Laki-laki seperti itu bukan saja hidup dalam cerita fiktif.

Sebagian lelaki sukses, berusia 35 sampai 60 tahunan, barangkali banyak yang mirip tokoh novel saya. Lelaki mapan, baik-baik, tapi bisa mencintai perempuan apa adanya, seperti tokoh Andy Garcia dalam When A Man Loves A  Woman, boleh jadi tampak menggelikan dan sulit dipercaya benar-benar ada di alam nyata.

Dalam film Something Gotta Give, Diane Keaton menyebut kegenitan lelaki setengah umur itu sebagai epidemi.

Itulah yang ia katakan ketika ia melihat Jack Nicholson, tokoh 60 tahunan, memerhatikan bokong putrinya yang baru 20 tahunan sambil menjilati es krim.

Epidemi itu tampak pula di sebuah toko, ketika seorang lelaki tua mencium perempuan seusia anaknya, tanpa rasa malu.

Wabah itu memang telah menyebar ke mana-mana: lelaki sukses yang sudah berumah tangga menjalin hubungan dengan remaja.

Mungkin mereka bisa dikatakan kurang berani, karena memang lebih gampang menaklukkan anak belasan tahun yang masih naif dan lugu.

Lagipula siapa yang tak ingin menikmati daging segar? Dengan teman tidur gadis belasan tahun, si bandot tua seakan kembali ke usia remaja.

Namun, tak semua kemesraan lelaki tua dengan gadis remaja bisa dipukul rata. Setiap hubungan punya sejarah dan tipe yang beragam.

Sekali waktu saya pernah pergi ke sebuah acara bersama teman yang sudah berumur. Kami benar-benar hanya teman tanpa embel-embel. Sesampainya di tempat acara, seluruh mata memandang penuh tanda tanya.

Celakanya, pandangan miring itu diungkapkan secara terbuka hanya kepada saya.

Ketika si teman berumur lagi menjauh, saya diberondong ribuan pertanyaan. “Tinggal di hotel sama Pak X, ya?” “Sudah di beliin apa saja?” “Wah, Kamu banyak dikasih uang, dong?” Namun begitu Pak X mendekat, mereka semua diam. Benar-benar menyebalkan.

Barangkali, prasangka miring itu juga muncul ketika seorang perempuan muda cantik berada di dalam mobil mewah: eh, piaraan siapa?

Orang cenderung curiga bahwa perempuan tak bisa mencari uang sendiri untuk membeli barang-barang mewah. Saya jadi paham, dalam hubungan seperti ini, pihak perempuan selalu lebih berat menanggung beban.

Kecurigaan itu sebagian mungkin benar. Namun, masyarakat agaknya telanjur telah menetapkan satu pandangan “baku” dalam menilai hubungan seperti itu. Bagaimanapun, woman still needs a man, man still needs a woman.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.