Musim Arab Kawin di Puncak

oleh -1264 Dilihat
oleh

Detak kehidupan di Puncak Bogor Jawa Barat memang tidak ada matinya. Siang hari pemandangan alam dan udara sejuk menyapa pengunjungnya.

Sementara geliat kehidupan malam di Puncak kian bergairah. Inilah yang menjadi daya tarik wisatawan asal Timur Tengah.

Ada perempuan pemuas birahi yang dengan begitu mudah mereka dapatkan jika dibandingkan di negaranya.

 

Bunyi musik terdengar dari sebuah vila, bising, sejenis musik keras dengan irama dan lirik padang pasir. Sebuah jendela yang gordennya terbuka mengungkapkan suasana ruang tamu vila yang bising itu.

Di bawah lampu nan terang, seorang perempuan berdiri di hadapan seorang pria sambil meliuk-liukkan badannya seirama nada.

Kedua tangannya terentang ke atas, pinggulnya diputar-putar. Memang, tak sedahsyat goyang Zaskia Gotic, penyanyi dangdut yang ngetop akhir-akhir ini.

Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya.

Musim Arab adalah masa dimana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan waktu libur setelah musim haji.

Kawasan puncak merupakan salah satu tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah satu kepuasan yang mereka cari. Ditambah lagi sajian kemolekan perempuan Indonesia.

Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan. Tak hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu riyal juga datang dari Cianjur, Indramayu, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya

Tapi ada yang lebih memicu aliran darah dari sekotak pemandangan lewat jendela itu: setidaknya, tubuh bagian atas penari itu tak ditutup apa pun.

Sebelum segalanya jelas, rupanya penghuni vila menyadari gorden yang terbuka. Tiba-tiba jendela itu pun ditutup.

******

Sejak dekade terakhir, pelancong Arab rutin menyerbu Puncak, Bogor memasuki bulan Mei hingga Juli. Turis Arab ini berasal dari sejumlah negara seperti Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Oman dan sebagian Afrika.

Kedatangan para turis Arab di kawasan Puncak tak sekadar berlibur dan bersantai.

Tentu tak sedikit juga mempunyai niat mencari kehangatan dalam dinginnya udara Puncak. Mereka juga berburu perempuan Indonesia.

Sebagian dikawin dalam ikatan kawin kontrak. Sebagian lagi langsung diajak kencan. Biasanya yang terakhir ini PSK (pekerja seks komersial).

Kehidupan prostitusi di Puncak mulai ramai terlihat ketika matahari sudah tenggelam. Saat itulah para pekerja di Puncak mulai bergerilya mencari mangsa.

Perempuan berparas putih dempulan bedak satu per satu diangkut tukang ojek untuk diorder kepada para pelanggan. Mereka menargetkan turis Arab sebagai sasaran utama.

Pekerja seks komersial (PSK) ini rela menghadapi dinginnya cuaca malam Puncak demi segepok fulus. Tak sedikit di antara mereka yang memakai jaket cukup tebal menutupi pakaian seksi di dalamnya.

Para tukang ojek ini lalu lalang menawarkan jasa para PSK para laki-laki yang lalu lalang atau menunggu di penginapan. Mereka juga bisa diorder tamu hotel ingin mencari wanita.

“Kalau tidak cocok ya tidak apa-apa. Dilihat dulu saja,” ujar seorang tukang ojek kawasan Puncak.

Bila sudah mendapatkan yang cocok, negosiasi pun diserahkan pada tamu dan PSK itu. Si tukang ojek mengaku tak ikut campur soal harga. Dia hanya mengharap tips dari tamu dan PSK yang diantarnya.

“Untuk orang Arab tarifnya beda, nawarinnya pasti di atas Rp 1 juta,” kata si tukang ojek. Tapi si tukang ojek berbisik tarif itu masih bisa dinego.

Prostitusi terselubung demi meraup fulus ini sebenarnya sudah lama terjadi. Namun praktek tersebut mereka balut label halal secara sudut pandang agama dengan modus kawin kontrak.

Karena mereka tidak lama stay di Puncak. Jika melihat visa turis yang tertera di passpor mereka, orang Arab ini hanya beberapa minggu berlibur ke Puncak setelah itu mereka pulang ke negaranya.

Kawin kontrak hanya melibatkan dua orang saksi dan satu orang yang berperan sebagai penghulu, dengan selembar kertas, pena, dan materai dengan sebuah mahar. Selesai. Ritual yang sangat sederhana, mengesahkan dua anak manusia menikah dalam sebuah kontrak.

Biasanya, perempuan yang akan dikawin para wisman asal Timteng itu dikontak melalui seorang makcomblang alias ‘germo’ yang menyalurkan jasa kepada wisman itu.

Hasil mahar yang didapat dari sang istri, nanti akan dibagi dua untuk dia dan si makcomblang. Komoditas pemuas birahi yang cukup marak di Puncak, Bogor.

Maka begitu puas melampiaskan hasrat seksnya dan sudah merasa membayar kewajiban, para turis Onta itu pun pulang dengan santainya ke negerinya di sana, sambil menyangka bahwa apa yang mereka lakukan itu halal.

Uniknya dari fenomena kawin kontrak ini, perempuan yang akan dikawin sebagian ternyata telah punya suami.  Para turis Arab yang pengen mengajak kawin kontrak dengan perempuan setempat terlebih dulu harus minta izin kepada suami yang bersangkutan. Kalau diizinin, mereka bisa melakukannya.

“Di sini laki-laki Arab kalau mau nikahin wanita itu harus izin suaminya dulu. Kalau suami oke nanti tanda tangan kontrak pakai materai. Kalau enggak setuju ya enggak bisa,” tutur Iwan, salah satu warga setempat yang biasa berjualan di lokasi wisata.

Ironisnya suami dari perempuan itu jutsru memberikan izin kepada istrinya untuk terikat kawin kontrak dengan para wisman yang berasal dari Timur Tengah itu. Motivasinya jelas uang.

Tapi, nggak semuanya yang menjadi istri kontrak itu perempuan yang udah bersuami. Banyak juga yang masih single, tapi kebanyakan dari luar kota.

Faktor utama masih bergulirnya budaya kawin kontrak hingga saat ini adalah masalah finansial. Iming-iming materi dan jangka waktu yang telah ditentukan membuat siapapun tergiur untuk melepaskan statusnya sebagai istri dari suami resminya atau dari keperawanannya. Bagaimana tidak, 15juta rupiah perbulan bisa diraup begitu saja.

Hanya memerankan sosok istri yang hanya melayani nafsu birahi suami kontraknya, orang mana yang bisa menolaknya?

Jangankan si perempuan, laki-laki di daerah setempat pun bahkan mengizinkan istrinya untuk ikut kawin kontrak.

Meski dari pihak pemerintah kota Bogor telah melarang adanya budaya kawin kontrak ini, para pelaku tetap saja menjalankan sebagaimana nafsunya berjalan. Ya, dengan main rapi dengan dalih agar nggak ketahuan.

Tak heran kalau Cisarua kemudian mendapat sebutan sebagai Kota Kawin Kontrak. Pasalnya kota kecil di kawasan Puncak, Bogor ini sejak lama menawarkan paket wisata kawin kontrak.

Suka tidak suka, sebutan yang tak enak didengar ini sudah kian melekat di telinga kita, bahkan mungkin telah menyebar ke penjuru dunia.

Fenomena kawin kontrak mengejar syahwat belaka berkedokan agama ini merupakan budaya baru yang kemudian membumi di masyarakat kawasan Puncak sejak datangnya turis Arab. Kegiatan ini terus menerus dilakukan dan didiamkan sehingga menjadi sebuah kebiasaan atau budaya.

Banyak perempuan lokal dan sekitar yang rata-rata masih belasan tahun sudah melakukan praktik kawin kontrak belasan kali dengan para “Onta”, sebutan untuk turis lelaki Arab.

Maklum turis Arab yang datang ke Indonesia, khususnya di Jakarta dan Puncak, akan selalu mencari perempuan lokal untuk dijadikan “istri sesaat” sebagai penyaluran “taik macan”-nya.

Dina (19) salah satu perempuan yang mengaku sudah belasan kali kawin kontrak melayani pria Onta, blak-blakan mengakui menerima bayaran untuk kawin kontrak dengan harga yang bervariasi tergantung lamanya. “Saya pernah dibayar Rp 9 juta untuk sepuluh hari. Tapi kalau cuma dua hari paling Rp 2 juta,” akunya enteng.

Harian Saudi Arabia al-Wathan pernah melansir, fenomena “nikah dengan niat talak di belakangnya” yang dilakukan oleh para lelaki Arab dengan perempuan Indonesia tersebut.

Begitupun dengan Surat kabar internasional Al-Arab yang terbit di London juga pernah melaporkan tentang fenomena Puncak dan Cisarua dengan segala bisnis ‘kawin siri’nya itu. Disebutkan sindikat kawin siri tersebut sudah membuat jaringan dengan menyebar kartu nama kepada calon pengunjungnya.

Baru-baru ini, Kepala Bidang Pembimbingan Masyarakat (Qism ar-Ra’aya) Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mendesak Badan Pembesar Ulama (Hay’ah Kubbar al-Ulama) kerajaan petro dollar tersebut untuk mengeluarkan fatwa yang menyikapi maraknya fenomena “pernikahan” para lelaki Saudi dengan perempuan Indonesia “yang diniatkan adanya talak (cerai) setelahnya” (nikah bi niyyat at-thalaq).

Khalid al-Arrak, Kepbid Bimas Kedutaan Saudi di Jakarta menyatakan, pihaknya khawatir jika fenomena yang marak di kalangan lelaki negaranya itu kian hari kian merebak dan tak dapat dikontrol.

Al-Arrak menyatakan, para lelaki Saudi yang melakukan praktik ini tidak lagi memperhatikan undang-undang yang berlaku terkait pernikahan, karena mereka justru menyandarkan perbuatan mereka terhadap salah satu fatwa ulama yang melegalkannya.

“Mereka melakukan pernikahan ini dengan bersandar pada fatwa ulama yang membolehkan nikah dengan niat bercerai (nikah bi niyyat at-thalaq),” ungkap al-Arrak.

Faktor pendukung mengapa kawin kontrak marak di Puncak karena perempuan Indonesia sendiri menjadikan praktek ini sebagai ladang pekerjaan.  Lagi-lagi kemiskinan dan susahnya hidup yang melilit mereka adalah dendang usang kaset lawas yang dijadikan alasan.

“Parahnya banyak perempuan Indonesia beranggapan jika menikah dengan lelaki Saudi, sekalipun kelak akan diceraikan, dipandang sebagai solusi sesaat untuk mendulang uang dan jalan pintas untuk dapat keluar dari jerat kemiskinan,” tambah al-Arrak.

Lebih naif lagi, mengaku senang dinikahi orang Arab karena dipercaya membawa berkah. Banyak orang awam kita, termasuk orang tua yang masih menilai orang Arab itu, pasti Islamnya kuat dan imannya tebal.

Padahal sebenarnya tidak semua begitu. Mereka kerap terkesima dengan fisik pria Arab dan brewok-nya, apalagi kalau sudah mengenakan pakaian khas Arab. Maklumlah orang kita kerap memuja “bungkusnya”.

Salah satu perempuan yang pernah dikawin kontrak turis Arab, Isah Nur (24), mengaku pernah dinikahi pria Saudi saat ia berusia 16 tahun. Sekarang ia telah menjanda, dan meneruskan profesi lamanya sebagai “istri yang dinikahi sesaat untuk kemudian diceraikan” dengan menjalani kehidupan malam.

Lebih naif lagi, Isah mengaku senang saat dulu dinikahi pria Saudi tersebut, karena orang-orang Saudi dipercaya memiliki dan membawa berkah. “Umat Islam di Indonesia menganggap orang Mekkah dan Madinah memiliki dan membawa berkah,” katanya.

Padahal pria Saudi itu hanya akan menikmati tubuhnya saja. “Saat meninggalkan kami, pria itu hanya memberikan uang Rp 3 juta,” keluh Isah dengan nada sedih.

Praktik “pernikahan dengan niat bercerai sesudahnya” ini benar-benar naif, dan lebih naif lagi dilegalkan oleh fatwa ulama.

Indonesia adalah tempat terpopuler untuk obyek praktik ini bagi orang-orang Arab, karena dipandang paling murah dan paling mudah.

Praktik demikian sejatinya tak jauh beda dengan prostisusi, prostitusi yang kemudian terlegalkan oleh fatwa ulama. dan salah satu lokasi wisata favorit bagi turis-turis Arab untuk melegalkan praktik tersebut adalah kawasan puncak dan sekitarnya.

Mayoritas turis pria Arab yang melakukan praktik pernikahan ini menyetorkan “mahar” sekitar Rp 4 hingga 10 juta tergantung berapa lama durasi kawin kontraknya.

Bagi mereka jumlah uang segitu kecil. Tapi buat orang Indonesia, itu sangat besar.

Tak heran mereka betah berlama-lama di Indonesia khususnya di Puncak, Bogor-Cianjur bahkan kerap balik lagi.

Pasalnya sudah dapat udara sejuk dan panorama indah, pun dapat “teman bobo” perempuan muda yang mudah pasrah dan murah buat mereka.

Kedutaan Saudi di Jakarta sendiri telah mencatat setiaknya 82 pengaduan pada tahun lalu, ditambah 18 pengaduan tahun ini yang diajukan oleh para “mantan istri” perkawinan ini, yang ternyata menghasilkan anak.

Meski tidak tercatat secara resmi di Kedutaan, namun pihaknya siap untuk memfasilitasi anak-anak yang diadukan itu untuk dapat pergi ke Saudi, negara bapak mereka berasal, dengan memberikan tiket dan visa masuk gratis.

Tetapi, dalam banyak kasus, para bapak mereka (pria Saudi) tidak akan mengakui kalau anak-anak tersebut adalah darah daging mereka, karena tidak adanya bukti-bukti legal dan lengkap dari pihak keluarga perempuan di Indonesia.

Berburu Wanita Pemuas Birahi di Puncak

Belakangan cara kawin kontrak yang lazim dilakukan para turis Arab ini sudah mulai ditinggalkan. Mereka kini lebih suka “membeli sate” langsung dengan PSK.

Pasalnya, makin lama pernikahan, makin mahal uang yang harus dibayarkan pada perempuan pasangannya. Belum lagi resiko hamil.

Seorang tukang ojek di sekitar kawasan Cisarua, Rudi membenarkan tradisi kawin kontrak yang dilakukan turis Arab di wilayahnya  saat ini sudah lebih berkurang bahkan nyaris tidak ada. “Kalau dulu iya ada kawin kontrak. Sekarang mah sudah tidak ada. Ya mereka liburan saja,” kata Rudi.

Meski isu kawin kontrak yang dilakukan turis Arab di kawasan Puncak mulai meredup, bukan berarti tak ada lagi praktik mesum di sana. Mereka tetap getol berburu perempuan terutama para PSK untuk memuaskan birahinya.

Menurut Rudi, turis Arab itu banyak yang tinggal di daerah Ciburial dan Warung Kaleng, Cisarua. Maka itu, banyak orang menyebut kawasan tersebut sebagai Kampung Arab. “Mereka ramai di sini memang, daerah ini disebut Kampung Arab,” ungkapnya.

Rudi mengaku biasa mencarikan perempuan teman kencan untuk turis Arab. Beberapa perempuan diakuinya memang lebih senang melayani turis Arab. Selain kepuasan, mereka juga membayar lebih mahal daripada turis lokal.

Para wisatawan asing asal Timur Tengah atau biasa dipanggil turis Arab paling senang dengan kemolekan perempuan puncak ini. Salah seorang PSK berinisial DS mengaku hanya menawarkan jasa pemuas birahinya kepada turis Arab.

“Biasanya aku kalau short time Rp 1 juta, long time-nya Rp 2 juta,” ujar perempuan berparas manis dan bertubuh molek ini.

DS menceritakan, selama menjadi PSK tidak pernah disewa maupun berhubungan intim dengan orang Indonesia dan lebih mengutamakan turis Arab. “Belum pernah sama Indonesia. Aku juga masih keturunan Arab,” ujar mojang asal Bogor ini.

Menurut DS, turis Arab kebanyakan juga menyewanya untuk menari erotis.

Namun ada juga cerita buruk soal kelakuan para turis Arab itu. PSK lainnya berinisial RN menceritakan kisah tersebut.

RN menuturkan, para turis Arab itu sedang mengadakan pesta dan temannya disewa untuk menari-nari. Dalam suasana hingar bingar itu, para turis Arab kaum pria itu banyak yang dalam keadaan mabuk.

“Di sana temen aku dipaksa minum. Terus temen aku kan nggak bisa minum (alkohol). Terus dia diusir sama Arab itu,” jelas perempuan bertubuh montok ini.

Di kalangan PSK Puncak, ada kode khusus untuk para turis Arab itu. “Mereka itu (dipanggil) Onta,” bisik RN. Perempuan muda ini mengaku tak tahu dari mana asal muasal sebutan onta itu. Tapi hal tersebut sudah pasti diketahui semua PSK di Puncak.

Ngaku Gadis Padahal Janda

 Kantor Urusan Agama (KUA) Cisarua, Bogor, Jawa Barat mencatat, ada 10.411 gadis yang tersebar di sembilan desa menunggu calon suami untuk siap menikah. Mereka rata-rata berusia 16-18 tahun.

Ridwan, Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Cisarua menjelaskan gadis tersebut siap menikah. Namun di tengah ribuan gadis yang belum menikah tersebut, terdapat cerita menarik di Kampung Cisampay, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Puncak Bogor.

Wilayah yang menjadi basis wisatawan Timur Tengah ini menyisakan banyak cerita. Salah satunya tentang gadis rasa janda. “Kenapa di bilang gadis rasa janda, karena di kampung ini, banyak ditemukan janda ber-KTP gadis. Mereka umumnya sudah merasakan kawin kontrak. Karena malu status, KTP dibuat belum menikah,”ujar Ridwan.

Banyak gadis desa, kini hidup menjanda, lantaran ditinggal suami kontraknya. Mereka berstatus janda, namun berstatus belum kawin, lantaran laki-laki yang pernah hidup bersama mereka, sifatnya hanya sementara dan tak resmi.

“Hampir separuh wanita yang telah menikah di wilayah ini status di KTP tertulis belum kawin. Menurut data ada 32 perempuan yang pernah menjalani kawin kontrak, namun mengaku gadis,”paparnya.

Nori Amalia 21, satu dari sekian janda kawin kontrak mengaku, ia masih berstatus gadis, karena perkawinannya dengan pria Arab, sifatnya hanya sementara.

“Kalau kawin kontrak, tak perlu rubah status di KTP. Status saya masih tetap gadis dong. Kan kawin kontrak itu terjadi, karena kebutuhan saja,” ujar wanita berbadan sintal ini.

Ia tetap bersikukuh, masih gadis, walau sudah memiliki anak dari kawin kontraknya itu. Prinsip jika dirinya masih gadis, semata-mata tujuannya untuk mendapatkan suami lagi.

“Coba tanya saja ada wanita muda lagi bawa anak. Itu pasti dikenalkan sebagai adiknya, bukan anaknya. Itu agar bisa kawin lagi,”katanya memberi penjelasan.

Nori mengaku, kawin kontrak antara gadis lokal dengan pria Arab masih terjadi. Walai tidak seramai dulu, namun praktek ini masih ada.

“Kalau dulu kawin kontrak hanya dengan pria asal Timur Tengah. Sekarang malah dengan warga asing asal Tiongkok dan Korea,”katanya.

Turis Arab Ajak Keluarga

Beberapa waktu lalu, sempat ada modus baru dari para pelaku kawin kontrak. Tujuannya sih untuk menghindari penggerebekan yang dilakukan pihak kepolisian dan Imigrasi.

Modusnya adalah dengan mengajak keluarganya, istri beserta anaknya untuk liburan ke Puncak. Mereka menyewa satu villa dengan minimal dua kamar.

Setelah itu, mereka izin ke istrinya untuk pergi menemui teman lamanya. Yang mereka maksud teman lamanya adalah istri simpanan yang masih atau akan menandatangani perkawinan secara kontrak tersebut.

Membawa keluarga saat wisata ke Puncak, Bogor, merupakan modus baru wisatawan Timur Tengah.  Mereka membawa keluarga, tapi kaum prianya, ditengarai masih  sempat menikmati kawin kontrak dengan wanita lokal di jalur Puncak.

Gaya baru ini dilakukan kaum pria asal negara-negara petro dolar, karena pemberitaan seputar kawin kontrak dengan wanita lokal di kawasan wisata berhawa sejuk ini, selalu mengundang penasaran mereka.

Seiring ramainya pemberitaan, kini pria asal negara petro dollar datang bersama istri dan anak sebagai wisatawan, dari sebelumnya  seorang diri atau bersama rekannya. Modus pria Timur Tengah ini berubah, diduga untuk menghindari razia rutin yang dilakukan pihak Imigrasi.

Menurut informasi, walau datang bersama keluarga, namun tak menutup peluang bagi pria Timur Tengah ini, untuk melakukan hubungan kawin kontrak dengan wanita lokal.

Seorang warga Kota Bunga Cipanas bercerita, jika satu pria Timur Tengah sekarang bisa menyewa dua kamar sekaligus saat berada di puncak.

“Jadi dua kamar sekaligus di sewa, dengan tujuan satu untuk istri dan anak-anaknya. Sedangkan satu lagi untuk wanita lokal yang dinikahi secara kontrak,” kata seorang petugas Kota Bunga Cipanas.

Untuk bisa bertemu wanita lokal yang menjadi simpanannya untuk waktu tertentu selama berada di Indonesia, pria Timur Tengah ini selalu pamit ke istrinya, jika hendak bertemu temannya.

“Mereka datang dari negaranya sana sama-sama keluarga. Namun setelah di Puncak, mereka berpencar tinggal. Karena berpencar tinggal ini, mereka bisa pamit ke istri dengan alasan bertemu teman.  Begitu keluar, mereka ke tempat atau kamar yang mereka sewa yang ditempati wanita lokal yang dinikahi untuk waktu tertentu,” papar sumber ini.

Modus baru wisatawan Timur Tengah ini sudah lama berlangsung, namun belum terdeteksi pihak Imigrasi maupun pihak keamanan.

Ada Juga Impor Cewek Marokko

Fenomena wisatawan Timur Tengah atau turis Arab yang banyak berada di Kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat mempunyai cerita lain.

Kedatangan mereka nyatanya tidak hanya untuk menikmati liburan, banyak pula yang mencoba peruntungannya di wilayah berudara sejuk ini.

Banyak di antara mereka mempunyai usaha restoran dan penginapan. Namun, ada juga yang menjajakan jasa pemuas birahi.

Seorang tukang ojek di Puncak, Jejen menceritakan bahwa wanita Arab perempuan yang menjual jasa esek-esek berasal dari Maroko. Sehari-hari memang tidak memakai kerudung tertutup, melainkan memakai pakaian serba ketat sehingga terlihat lekuk tubuhnya.

Paras mereka memang cantik khas negeri Arab. Berkulit putih, bermata cokelat, berhidung mancung, berambut panjang kecoklatan. Jika berjalan di kawasan Puncak, mereka selalu menjadi perhatian para pria lokal atau turis Arab.

Namun tak sembarangan untuk mencicipi pekerja seks komersial (PSK) impor ini. Harga yang ditawarkan pun terbilang mahal untuk sekali main. “Cewek Maroko itu harganya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta semalem,” kata Jejen.

Menurut Jejen, PSK asal Maroko ini biasanya menyewa vila untuk sebulan. Harga sewa tempat tinggal mereka juga terbilang mahal. “Bisa Rp 11 juta untuk nyewa vilanya sebulan,” ujarnya.

Di tempat tinggalnya, para PSK Impor ini tidak hidup sendiri. Mereka juga berkelompok. “Satu vila bisa tiga sampai empat orang,” ungkapnya.

Geliat prostitusi di kawasan Puncak memang menggoda kaum Adam untuk datang. Mulai dari perempuan lokal hingga internasional mereka sajikan sebagai pemikatnya.

Tentu itu hanya segelintir cerita kelam di Puncak. Sebab, keindahan alami dan kesejukan udaranya tetap menjadi primadona.

Bagaimana peran pemerintah baik daerah maupun pusat dalam menanggulangi fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi dan belakangan ini terangkat lagi? Benarkah pemerintah dilema menghadapinya?

Maklum, kehadiran turis Arab disatu sisi memberi banyak keuntungan finansial bagi masyarakat lokal, termasuk lahan pekerjaan.

Namun disisi lain, kemunculan mereka (meski tidak semuanya) dengan fenomena kawin kontraknya itu, justru telah merendahkan bangsa ini.

Beranikah pemerintah mengusir turis yang telah menginjak-nginjak harga diri bangsa ini dengan menikahi perempuan Indonesia hanya dengan kawin kontrak. (***)

sumber: majalah MATRA edisi Februari 2018

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.