MA Tak Boleh Diam atas Vonis Penjara Pada Pecandu Narkoba

oleh -335 Dilihat
oleh

TIRAS.id –– Anang Iskandar, Jenderal polisi bintang tiga yang hingga kini terus memberi literasi, kepada semua pihak untuk memberi hukuman rehabilitasi kepada pecandu, rupanya menjadi gusar.

Kenapa?

Karena masih ada hakim yang memberi hukum penjara kepada penyalahguna narkoba. Padahal, penjara bukanlah resep yang tepat untuk menanggulangi masalah darurat narkoba di bangsa ini.

Indikator keberhasilan penanggulangan narkotika, tergantung keseriusan aparat pengemban fungsi rehabilitasi.

Untuk merehabilitasi penyalah guna melalui wajib lapor pecandu, dan keseriusan aparat penegak hukum melalui putusan hakim untuk memerintahkan penyalah guna menjalani rehabilitasi dan menghukum berat pengedarnya.

Narkotika seperti Covid -19 bisa hilang dari bumi pertiwi, kalau aparat pengemban fungsi rehabilitasi dan penegak hukum yang dikoordinir BNN kompak merehabilitasi penyalah guna narkotika.

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika memposisikan rehabilitasi sebagai “kunci Inggris” dalam menanggulangi masalah narkotika yang artinya:

Pertama, rehabilitasi dapat berfungsi sebagai pencegahan, dalam arti prevention without punishmen (pencegahan tanpa hukuman).

Caranya yaitu penyalah guna diwajibkan UU untuk melakukan wajib lapor pecandu guna mendapatkan perawatan melalui rehabilitasi, bila melakukan wajib lapor pecandu status pidananya gugur, berubah menjadi tidak dituntut pidana.

Kedua, rehabilitasi sebagai sanksi alternatif/pengganti sanksi pidana bagi penyalah guna narkotika dalam proses hukum.

Ketiga, rehabilitasi adalah proses penyembuhan/pemulihan secara medis dan sosial agar penyalah guna tidak relapse atau melakukan perbuatan pidana karena relapse berarti melakukan perbuatan pidana.

Kalau rehabilitasi, baik sebagai proses medis, sebagai proses pencegahan tanpa menghukum dan sebagai sanksi bagi penyalah guna dalam proses penegakan hukum diterapkan, dampaknya dapat membuat pengedar bangkrut karena tidak ada pembelinya, sebab pembelinya telah direhabilitasi.

Catatan pinggirnya, asal aparat penegak hukum narkotika dan pengemban fungsi rehabilitasi narkotika serta masarakatnya memahami secara utuh UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, baik tujuan, visi dan misi penegakan hukum.

Maksudnya memahami UU secara utuh adalah:

Pertama, penegak hukum narkotika baik penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, ya jangan hanya membaca pasal pidananya saja, baca pula tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Sehingga penegak hukum memahami tujuan, visi dan misi penegakan hukum narkotika yang sifatnya gegenteil dalam memberantas peredaran gelap narkotika dan memberantas penyalahgunaan narkotikanya.

Artinya dalam proses penegakan hukum, terhadap pengedar sifatnya represif, dijatuhi hukuman pidana dengan pemberatan, sedangkan terhadap penyalah guna sifatnya rehabilitatif dimana penegak hukum sebagai penjaminnya agar penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Kalau begitu beda dong perlakuan antara pengedar dan penyalah guna ? iya jelas beda.

Pengedar narkotika diperlakukan sebagai kriminal dengan rekening gendut, penindakannya dilakukan secara represif, dijatuhi dengan pidana minimum 4 tahun penjara, serta asetnya dibekukan dan dirampas melalui pembuktiaan terbalik di pengadilan.

Sedangkan penyalah guna diperlakukan sebagai kriminal sakit, diproses secara pidana dijamin oleh penegak hukum mendapatkan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi (PP 25 tahun 2011) dan hukuman penganti berupa rehabilitasi (pasal 103/2 UU no 35 tahun 2009)

Kedua, pengemban fungsi rehabilitasi seperti Kemenkes, Kemensos dan BNN harus memahami bahwa tugasnya adalah menyiapkan layanan rehabilitasi tersebar diseluruh wilayah Indonesia;

Berupa layanan rehabilitasi dari sumber Wajib Lapor Pecandu, sebagai langkah pencegahan tanpa menghukum dan layanan rehabilitasi dari sumber Penegakan Hukum baik atas keputusan atau penetapan hakim, maupun perintah jaksa dan perintah penyidik narkotika.

MA Tak Boleh Diam

Ketua Mahkamah Agung harus kerja keras untuk membenahi kemampuan para hakim yang memeriksa perkara perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami oleh Nia cs dan para penyalah guna lainnya.

Memahami UU narkotika harus secara utuh, apa tujuannya, apa misi penegak hukumnya, tidak bisa hanya memahami secara parsial atau pasal perpasal saja, kalau UU Narkotika tidak secara utuh dipahami bisa jadi hakim misuse dalam menjatuhkan hukuman bagi penyalah guna seperti yang dialami oleh Nia cs.

Hakim dalam melakukan tugasnya tidak berpedoman pada tujuan UU narkotika dan menyengsarakan masarakat, mestinya menghukum rehabilitasi tapi fakta menghukum penjara seperti yang dialami oleh Nia cs, hakim yang demikian patut mendapatkan pembinaan agar memahami UU narkotika secara utuh,” ujar Anang Iskandar mantan kepala BNN kepada media,  Rabu (12/1/2022).

Masih sambung Anang Iskandar, Secara yuridis dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim wajib (pasal 127/2) memutuskan atau menetapkan terdakwa seperti Nia untuk menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman (pasal 103), dengan memperhatikan lebih dulu kondisi taraf ketergantungan terdakwanya (pasal 54) dan unsur yang dapat menggugurkan tindak pidana yang dilakukan oleh Nia cs (pasal 55).

“Kalau Nia cs melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL maka status pidana Nia cs menjadi tidak dituntut pidana, sedangkan kalau Nia cs ketika pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk dirayu ditipu diperdaya bahkan dipaksa menggunakan narkotika maka disebut korban penyalahgunaan narkotika, kalau Nia cs sudah berulang kali menggunakan narkotika disebut pecandu,” terangnya.

Penyalah guna narkotika baik sebagai korban penyalahgunan narkotika maupun pecandu secara yuridis wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54).

“Meskipun hakim punya kebebasan dan keyakinan untuk menjatuhkan hukuman tetapi dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim tidak boleh bersembunyi atas nama kebebasan dan keyakinan hakim karena tujuan dibuatnya UU menyatakan dengan jelas bahwa dalam memberantas peredaran gelap narkotika, dan UU menjamin penyalah gunanya mendapatkan upaya rehabilitasi,” ungkap Anang.

Sehingga penegak hukum dalam memeriksa perkara narkotika untuk dikonsumsi tugasnya adalah menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Khusus hakim, diberi kewajiban (pasal 127/2) dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami Nia cs, untuk memperhatikan penggunaan kewenangan berdarakan pasal 103/1 yaitu kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi sesuai tujuan dibuatnya UU narkotika.

Kalau majelis hakim pengadilan negeri jakarta pusat yang nyata-nyata tidak memperhatikan tujuan dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan yang diberikan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, kemudian menghukum penjara bagi penyalah guna seperti Nia cs.

Lantas Apa Mahkamah Agung diam saja atau Mahkamah Agung justru merestui penyalah guna narkotika dihukum penjara?

Perkara penyalagunaan narkotika dihukum penjara, bukan perkara banding tetapi perkara misuse dalam menggunakan bentuk hukuman.

Jaksa menuntut direhabilitasi, hakim memenjarakan.

Mengutip detiknews, Selasa 11 januari 2020 – Nia Rahmadani dan Ardi divonis hukuman 1 tahun penjara atas kasus penyalahgunaan narkotika, Majelis hakim menganggap Nia dan Ardi bukan korban penyalahgunaan narkotika dan terbukti melanggar pasa 127 (1) hurup a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.

Menurut saya, Nia dan Ardi memang bukan korban penyalahgunaan, tetapi Nia dan Ardi sudah mencapai tahap penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu.

“Penyalah guna itu sadar dan punya niat untuk mengkonsumsi narkotika tetapi niatnya karena dorongan dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya. Ingat penyalah guna seperti Nia cs tidak punya niat jahat, niat penyalah guna untuk menggunakan narkotika hanya karena dorongan akibat sakit ketergantungan yang dideritanya,” jelas Anang lagi.

Perlu diluruskan bahwa untuk menjadi penyalah guna narkotika bukan atas karena ingin mencoba pakai, tetapi prosesnya untuk pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya dan dipaksa untuk menggunakan narkotika, yang demikian ini disebut korban penyalahgunaan narkotika.

Setelah menjadi korban penyalahgunaan narkotika, kemudian melanjutkan kariernya sebagai penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu.

Nah, Nia cs proses menjadi penyalah guna seperti tersebut diatas. Berdasarkan pasal 54 UU narkotika bahwa korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu (penyalah guna dalam keadaan ketergantungan seperti Nia cs) wajib menjalani rehabilitasi.

Itu sebabnya misi jaksa penuntut dan hakim dalam proses pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, oleh karena itu jangan curiga kalau penyalah guna seperti Nia cs dituntut dengan hukuman rehabilitasi selama 1 tahun di Rumah Sakit Ketergantungan Obat.

Menurut catatan saya sejak Jaksa Agung mengeluarkan pedoman dalam menuntut perkara penyalah guna narkotika dengan tuntutan rehabilitasi, sudah ada hakim yang memutuskan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika antara lain:

“Di Pengadilan Negeri Medan, Jaksa penuntut Umum mendakwa kuli bangunan Denny Hendra Darin warga jalan Rahmadsyah Ruko Town House Kelurahan Kota Matsun 1 Kecamatan Medan Area dengan dengan dakwaan berdasarkan pasal 127 ayat 1 hurup a, karena ketika ditangkap kedapatan barang bukti seberat 0,16 gram sabu dan setelah diperiksa terdakwa mengaku menghisap sabu agar tenang serta sudah 3 tahun menggunakan narkotika,” jelasnya.

Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa Denny Hendra Darin terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 127 ayat 1 huruf a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Keputusan Majelis Hakim, memvonis Denny Hendra Darin, kuli bangunan tersebut untuk menjalani rehabilitasi selama 6 bulan di Loka Rehabilitasi BNN Diliserdang, dikurangi masa rehabilitasi yang telah dijalani.

Di Pengadilan Negeri Lampung tengah, lebih dari tujuh perkara penyalahgunaan narkotika yang dituntut dan didakwa didakwa berdasarkan pasal 127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna dilaksanakan di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda.

“Penyalah guna selama proses peradilan, tidak dilakukan penahanan, karena misi penegak hukum adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, melalui kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum dan menjatuhkan hukuman rehabilitasi,” pungkasnya.

Di Pengadilan Negeri Surabaya, Jaksa penuntut umum menuntut terdawa dengan tuntutan rehabilitasi namun putusan hakimnya rehabilitasi selama 3 bulan di Rumah Sakit JIwa Menur Surabaya, dan hukuman penjara selama 4 bulan.

Kalau jaksa menuntut penyalah guna untuk direhabilitasi seperti apa yang dialami oleh Nia Rahmadani cs kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk memenjarakan.

Lantas apa hakim benar benar tidak faham akan tujuan dibuatnya UU dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika?

Apakah hakim hakim juga tidak faham kalau penyalah guna narkotika dalam proses pengadilan, berdasarkan pasal 103 UU RI No. 35 tahun 2009 ttg narkotika, bahwa terbukti salah atau tidak bersalah, hukumannya berupa menjalani rehabilitasi bukan hukuman penjara,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.