TIRAS.id — Goenawan Soesatyo Mohamad adalah seorang sastrawan dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Ia juga salah seorang pendiri majalah Tempo.
Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI. Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan yang liberal dan terbuka.
Dalam tulisan GM yang trademark “Catatan Pinggir” ini dimuat dalam Majalah Tempo pekan ini, Ada kesan Goenawan Muhammad Mau Istirahat.
Simak Catatan Pinggirnya:
SETELAH 46 TAHUN
46 tahun, 2027 tulisan, 1,5 juta kata, 15 jilid buku — dan rubrik “Catatan Pinggir” di majalah Tempo pun beristirahat. Saya memutuskan untuk tak akan menuliskannya lagi tiap minggu.
Tentu ada yang bisa disyukuri dan ada yang bisa disesali dari kerja terus menerus itu. Tapi yang saya capai pada akhirnya terbatas.
Batas pertama pada niat. Batas kedua pada kemampuan. Saya tak berniat jadi penulis “Catatan Pinggir” sampai titik darah penghabisan. Ada saat berhenti. Saya memilih menentukan saat itu pada usia 82 ini, kira-kira sebelum saya mulai tak mampu lagi menyajikan percakapan yang menarik dan penting — sebelum saya hanya bisa mengulang-ulang.
Batas ketiga para pembacanya.
Pada dasarnya “Catatan Pinggir” sebuah undangan ke dalam percakapan. Tapi tentu saja saya tak bisa memperkirakan bagaimana pembaca akan ikut membentuk percakapan itu. Dan ketika selama hampir setengah abad hadir generasi-generasi baru pembaca, perkiraan itu makin tak mudah.
Saya tak bisa berharap akan berkomunikasi lancar dengan satu dua generasi yang tak mengalami yang saya alami sebelum Tempo di tahun 1971 —sejarah politik, sejarah pemikiran, perkembangan dan perubahan bahasa. Siapa Trotsky, Allan Dulles, James Dean, Titien Sumarni, S. Rukiah? Apa arti “nekolim”? “Manipol”? “Kopkamtib”? Apa gerangan “Perang Dingin”?
Kata-kata sejenis itu kini tak bisa saya asumsikan akan langsung dimengerti pembaca. Kadang-kadang saya mencoba menjelaskan —dan itu akan membuat tulisan jadi panjang, sebab nama “Trotsky” misalnya tak akan berarti apa-apa tanpa pengetahuan tentang sejarah Revolusi Rusia.
Kalau para pembaca tak hendak mencari sendiri, saya tak akan mampu menjelaskannya dengan memadai.
Kian lama, saya kian tak yakin saya akan mampu. Generasi terus berganti.
**
Penyair Jerman, Paul Celan, pernah mengibaratkan menulis dengan mengirim sebuah pesan yang dimasukkan ke dalam botol yang dilepaskan ke laut. Tak ada alamat jelas dan pasti yang dituju. Ombak bisa membawanya ke sembarang pantai. Di sana mungkin ada (atau mungkin tak ada) seseorang yang akan menemukan dan membacanya.
Namun menulis juga tak buta arah, menafikan orang lain. “Saya hendak dibaca,” kata Multatuli. Menulis adalah mengharap. Ketika saya, atau anda, bahkan Paul Celan menulis, tersirat harapan bahwa akan ada seorang “engkau yang responsif”, “ein ansprechbares Du“— satu “Engkau”, persona kedua, seorang pembaca, entah siapa persisnya, yang tak hanya beku membatu, yang malah mungkin menyahut.
**
Tentu perlu ditambahkan bahwa perumpamaan “pesan-dalam-botol-yang-hanyut” itu terutama berlaku buat puisi — atau ketika kita menulis dengan modus puitik. Catatan Pinggir kadang-kadang muncul dalam modus puitik, tapi sebagai sebuah tulisan yang akan dipasang dalam sebuah media massa, ia memakai bahasa yang bisa dikategorikan dalam jenis “prosa”.
Dalam “Qu’est-ce la littérature” Sartre menyebut bahasa prosa “berintegrasi ke dalam jiwa obyektif”, “s’intègre à l’esprit objectif.” Jiwa obyektif mengandung dorongan konsensus dalam makna dan adat bahasa — satu hal yang tak ada dalam puisi. Mungkin itu juga sebabnya Sartre, yang membedakan puisi dari prosa secara mutlak, menganggap menulis prosa adalah sebuah “langkah pengungkapan”, “l’action par dévoilement.”
Sartre tentu saja berlebihan. Menulis, terutama menulis buat sebuah media massa, bisa diumpamakan menggambar peta sebuah wilayah; tulisan bisa impresif, sampai rinci, tapi sebuah peta tak pernah pas dengan wilayah yang dipetakan.
Seperti halnya menyusun sebuah peta, menulis juga mereduksi. Huruf tak seutuhnya mewakili suara manusia, dan seribu hurufpun tak akan persis menangkap gejolak peristiwa. Bahasa tak bisa sama transparannya dengan kaca di bawah matahari. Selalu ada yang gelap atau agak gelap. Sebab itu tulisan tak pernah memadai, dan tak bisa dianggap selesai bahkan buat menyatakan hal yang sederhana.
Sebuah tulisan berproses dalam sebuah alur yang tak lurus: arus peristiwa, pergeseran waktu dan situasi. Sejarah adalah lorong yang berlipat-lipat, dengan banyak tikungan. Maka satu tulisan bisa diterima dan dipantulkan kembali dalam pelbagai makna —yang terkadang tak diduga-duga.
Dalam sebuah tulisan ada yang hidup seperti rumput: tumbuh dan berubah. Begitu pula dalam diri seorang pembaca. Tak benar bahwa arah sebuah tulisan, juga prosa, hanyalah apa yang dimaui sang penulis. Pada gilirannya, seperti kata Roland Barthes, tempat diberikan kepada si pembaca. Otoritas tak lagi ada di tangan penulis. Terkenal sekali ucapan Barthes tentang matinya « l’auteur », hilangnya “otoritas/sang pengarang”.
**
Bukan kebetulan jika kata “pujangga” tak lagi beredar dalam percakapan dewasa ini. Saya akan merasa ganjil, mungkin geli, andai disebut “pujangga”. Seorang penulis dewasa ini — sejak 1945, berkat dorongan egalitarian dalam bahasa dan tatanan sosial — tak pantas berpose sebagai pujangga.
Kita tak bisa membayangkannya sebagai penggubah sastra yang juga sumber kearifan. Kini kearifan, atau keindahan, atau kebenaran, tak berada di satu tangan. “Catatan Pinggir” selalu di pinggir, tak bermaksud nongkrong di tengah wacana. Saya membiarkan banyak pendapat berlalu-lalang.
Sering ada kritik, “Catatan Pinggir” lebih cenderung bertanya ketimbang menyajikan jawab. Pleidoi saya: kita hidup sudah sarat dengan jawaban — dari Kitab Suci, Marx, MUI, Said Qutb, Artificial Intelligence, dan buku primbon. Kita sering diberi “solusi”, baik oleh para motivator di YouTube ataupun iklan obat kulit. Maka saya memilih memperbaharui kesangsian — seperti pernah saya lihat tertulis di selembar T-shirt: “You say Jesus is the Answer. But what is the Question?”
Kata “Jesus” bisa diganti dengan “Pancasila”, “Qur’an”, atau “Manifesto Komunis” — hal-hal yang tak menghendaki keraguan. Walhasil, masyarakat kita adalah masyarakat yang defisit pertanyaan. Kita anggap pertanyaan bagian kebodohan. Kita lupa bahwa pertanyaan adalah bagian hidup kita, subyek yang berkekurangan. Pertanyaan adalah hasrat, dan pelbagai hal dilahirkan untuk memenuhi hasrat itu. Ilmu dan agama tak akan ada tanpa hasrat untuk melayani rasa ingin tahu.
Kita lihat “kecerdasan buatan”: dengan kemampuannya yang super, ia tak akan melahirkan peradaban. Ia tak punya rasa ingin tahu, ia tak punya empati kepada yang ragu, ia tak merasa berkekurangan, ia tak didera pertanyaan.
**
Itu sebabnya tiap “Catatan Pinggir” adalah sebuah “esei” —jenis tulisan yang seakan-akan bergumam kepada diri sendiri tapi sebenarnya sebuah dialog, jenis tulisan yang “mencoba-coba” (“essayer” dalam bahasa Prancis berarti “mencoba”), yang berusaha menyatakan sesuatu tapi sadar bahwa ada yang ia tak tahu — mengikuti model Michel de Montaigne dalam sastra Prancis, tapi juga, sebuah jenis lain dari apa yang dalam sastra Jawa disebut “serat”.
Serat bukanlah sesuatu yang solid seperti bogem. Ia serabut yang tak pekat padu, tak bisa buat menghantam. Maka “Catatan Pinggir”, jikapun disatukan dalam satu jilid, tak akan utuh dalam pendapat — dan tak bisa menggertak. Bahkan ia bisa nampak bermain-main dengan ide dan ungkapan.
Ia tak disangga konsep-konsep yang ketat, apalagi tegar. Di dalamnya berkecamuk kiasan-kiasan —-ungkapan yang mengacu ke hal-hal yang kongkrit, yang bisa banyak arti dan berubah-ubah. “Serat Kalatida,” misalnya, menunjukkan sebuah keadaan krisis bukan dalam satu analisa yang abstrak. Tulisan itu hidup, tapi tak mengatakan sesuatu yang universal.
Dengan kiasannya, esei, sebagaimana puisi, tak menyorotkan kesimpulan yang obyektif. Tapi di baliknya membayang gerak “kebenaran” yang mengatasi subyektifitas. Dengan itu, “kebenaran” yang sudah aus (dalam kata-kata Nietzsche, ibarat “mata uang gobang yang sudah hilang gambarnya dan hanya jadi logam biasa”) bisa punya nilai.
“Catatan Pinggir” mencoba memulihkannya hingga bernilai: 2027 esei, 1,5 juta kata, 15 jilid buku.