Belajar Dari Strategi Fuji Film Mengubah Ancaman Menjadi Peluang
Tulisan Edhy Aruman ini menjadi referensi dan menginspirasi. Pakar marketing dan communication juga dosen.
—
Pada awalnya, Fuji Photo Film Company adalah perusahaan yang rugi habis-habisan. Perusahaan itu merupakan hasil divestasi dari salah satu produsen film sinematik pertama Jepang pada 1930-an karena kinerjanya yang buruk.
Selama bertahun-tahun, reputasi Fuji buruk karena kualitasnya yang jelek. Padahal, visi Fuji didirikan adalah untuk mengalahkan raksasa produsen dan pemrosesan film seperti Eastman Kodak.
Selama hampir seratus tahun, pasar untuk proses fotografi berbasiskan bahan kimia untuk para amatir dan profesional tidak berubah. Penguasa pasarnya itu-itu juga. Hal ini menggambarkan bahwa kalau pun ada persaingan, arenanya di sekitar distribusi daripada produk.
Tapi Fuji berani menantang Kodak dengan bersaing pada produk.
Di situ mungkin kesalahan manajemen Fuji yang ingin menyaingi Kodak secara frontal. Agar bisa menyaingi Kodak, Fuji banyak melakukan inovasi, termasuk film roll, film 35 milimeter, kartrid yang mudah dimuat, dan bahkan kamera sekali pakai.
Namun, selama satu dekade, posisinya sebagai produsen film dalam persaingan industri fotografi tidak berubah.
Baru pada tahun 1970-an tanda-tada keberuntungan mulai tampak. Saat itu ada peristiwa yang terbukti sangat penting bagi evolusi bisnis fotografi.
Adalah dua anggota dari salah satu keluarga terkaya di Amerika, Nelson Bunker Hunt dan William Herbert Hunt, mencoba menggoreng pasar logam perak dunia.
Mereka tertarik menggunakan perak sebagai lindung nilai terhadap inflasi (masalah besar pada waktu itu) dan juga sebagai alat untuk mendiversifikasikan asetnya. Keda itu itu kebetulan memiliki aset besar dalam minyak.
Mereka mulai melakukan investasi dalam perak pada tahun 1973. Saat itu harga satu ons perak hanya di bawah $ 2. Namun, pada awal 1979, harganya naik menjadi sekitar $ 5.
Pada akhir 1979, saat dia telah mengumpulkan 100 juta ons perak atau menurut pengamat hampir separoh pasokan dunia, dia mainkan psikologi pasar dengan cara mengumumkan rencana pembelian perak besar-besaran kepada publik.
Reaksi pasar luar biasa, harga perak melonjak ke angka lebih dari $ 50 per ons.
Ketakutan di antara para produsen film tampak jelas — apa yang akan terjadi jika perak, unsur utama dalam pemrosesan film, terbukti jauh lebih mahal daripada yang diprediksi oleh model ekonomi mereka?
Lalu bagaimana jika investor perak memegang kunci perdagangan di pasar sehingga kebutuhan mereka tidak tercukupi?
Untungnya, kekhawatiran mereka tidak berlangsung lama.
Pada bulan Maret 1980 harga perak jatuh dengan dengan cepat, membawa serta kerusakan ramai-ramai. Saat itu indeks Dow Jones Industrial Average mengalami penurunan paling parah.
Dengan berakhirnya krisis, sebagian besar perusahaan fotografi, di antara mereka adalah Kodak, kembali berbisnis seperti biasa.
Namun, Minoru Ohnishi, CEO Fuji Photo Film, masih sangat tidak nyaman dengan pengalaman itu. Dia merasa bahwa perubahan mendasar masih berpotensi terjadi lagi dalam bisnis fotografi.
Dia pun berpikir keras bagaimana mengubah ancaman itu menjadi peluang.
Secara kebetulan tahun 1984, Sony memperkenalkan kamera digital pertamanya, Mavica. Ini menyadarkan Ohnishi bahwa sebenarnya fotografi dapat dilakukan tanpa film.
“Saat itulah saya menyadari bahwa fotografi bisa dilakukan tanpa meggunakan film,” kata Ohnishi. Itu berarti ancaman bagi Fuji yang memproduksi film.
Setelah muncul kesadaran itu, dia tidak membuang waktu dan langsung bergerak. Dia melakukan banyak investasi membangun keahlian dalam teknologi digital untuk mempersiapkan putaran persaingan berikutnya dalam bisnis fotografi.
“Kami tak ingin kalah dalam pertempuran ini,” kata kepala ilmuwan dan penasehat senior Fuji Hirozo Ueda.
Tak kurang US$ 2 miliar diinvestasikan Fuji untuk pengembangan teknologi digital. Pada tahun 2003, Fujifilm memiliki hampir lima ribu laboratorium pemrosesan digital jejaring toko di seluruh Amerika Serikat. Pada saat itu, Kodak memiliki kurang dari seratus.
Ohnishi bertekad tidak hanya untuk menjaga agar perusahaannya tetap relevan dalam teknologi digital untuk fotografi, tetapi juga untuk memperluas jangkauannya ke peluang di luar bisnis fotografi.
Dia mendorong perusahaan untuk membangun saluran penjualan untuk produk baru seperti pita magnetik optik dan sistem elektronik hibrida.
Itu menjadikan Fuji sebagai perusahaan non-AS pertama yang memproduksi rekaman video. Fuji juga melakukan divesifikasi ke bisnis bioteknologi dan otomatisasi kantor, masuk ke pasar floppy disk dan sebagainya.
Hasilnya, Fuji Film hingga kini masih berjaya, sementara Kodak bangkrut.