TIRAS.id — Catat! Ternyata Rekor Dunia Angklung Sudah Tercipta Tahun 2015 di Bandung
Gemuruh angklung menggema di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu yang terik, tanggal 5 Agustus 2023.
Suara gembira ribuan angklung yang bersatu dalam harmoni melengkapi catatan sejarah baru bagi Indonesia.
Seperti halaman baru dalam novel yang memukau, rekor dunia terbesar untuk pergelaran angklung diraih dengan bangga. Sebuah prestasi megah yang kini dikenang oleh zaman.
Tidak kurang dari 15.110 individu berjiwa seni dan semangat patriotik memenuhi gelanggang, mengikuti irama ketukan rekor yang melahirkan penyatuan luar biasa ini.
Semua mata tertuju pada momen epik yang akan tertulis dalam ingatan, dan lebih dari itu, di lembaran sejarah Guinness World Records.
Sutradara dari panggung peristiwa ini adalah Saung Angklung Udjo, peraih Mahakarya Kebudayaan dari MURI yang mengayuh perahu menuju dua lagu, “Berkibarlah Benderaku” yang merupakan masterpiece karya Ibu Soed, dan “Wind of Change” dari band legendaris Jerman, Scorpions.
Melalui sentuhan tangan-tangan mahir, angklung-angklung ini membentuk orkestra raksasa yang melantunkan melodi untuk sejarah.
Melibatkan beragam komunitas, peserta dari Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju, Pegawai Negeri Sipil, para pahlawan Dharma Wanita Persatuan dari berbagai kementerian, dan gemulai yang berpakaian seragam dari Lembaga TNI-Polri serta kaum wanita dan kaum muda dari sekolah-sekolah kedinasan dan pelajar – semua berperan sebagai pemeran penting dalam drama gemilang ini.
Namun, bagai setitik rempah dalam secangkir kuah, kontroversi pun melintas dalam cahaya kemenangan.
Seperti burung beo yang berisik di hutan sepi, terdengarlah suara ketidaksetujuan dari salah seorang Direktur Museum Rekor Dunia Indonesia, MURI.
Dalam sorotan terang, Osmar Susilo, sang Direktur, menegaskan bahwa meski kilau rekor menghiasi Stadion Utama GBK pada 5 Agustus, sebenarnya rekor dunia untuk pergelaran angklung terbesar sudah lebih dulu hadir pada tanggal 24 Juli 2015 di Stadion Siliwangi Bandung.
Sebuah acara monumental dalam peringatan Konferensi Asia Afrika yang memasuki usia ke-60.
Lautan angklung, dengan 20.074 peserta sebagai pelayarannya, menorehkan jejak tak terhapuskan dalam sejarah.
Akan tetapi, mengapa rekor ini tersingkir dari lembaran Guinness World Records?
Seperti misteri yang menggoda, Osmar Susilo pun mencoba meraba fakta-fakta yang memudarkan cahaya prestasi.
Meskipun sebuah bayang-bayang dilemparkan pada rekor yang baru saja diukir di GBK, tetap tak dapat dipungkiri bahwa rekor tersebut adalah bukti nyata akan potensi besar Indonesia.
Negeri yang memeluk kekayaan budaya dalam dekapan erat, mampu mengguncang dunia melalui denting angklung yang merdu.
Prestasi ini bukan sekadar nama di sebuah daftar, tetapi juga menggambarkan semangat, kerja keras, dan tekad yang mekar menjadi bunga kejayaan.
Seiring dengan lantunan lagu Bendera yang berkumandang di Stadion Utama GBK, kita diingatkan bahwa rekam jejak tak hanya ditinggalkan pada kertas, tetapi juga dalam hati dan jiwa bangsa.
Dalam perbedaan pendapat yang menggelitik ini, terukir juga suara-saura bangga dan semangat untuk terus tumbuh, menjadi diri yang lebih baik di panggung dunia.
Seperti alat musik angklung yang terbuat dari serpihan bambu yang sederhana, namun mampu menghasilkan keindahan yang tak terhingga, demikianlah Indonesia.
Dalam segala perbedaan dan kontroversi, Indonesia tetap berkilau, seperti sinar matahari yang memancar di tengah awan, menyoroti setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanannya.