HANI 2023: Penegakan Hukum Narkotika, Jangan Keluar dari Tujuan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

oleh -0 Dilihat
oleh

TIRAS.id tentang HANI 2023: Penegakan Hukum Narkotika, Jangan Keluar dari Tujuan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

  • Oleh Dr. Anang Iskandar, SIK, SH, MH. Ahli Hukum Narkotika. KA BNN RI 2012-2015 Ketua Badan Narkoter Partai Perindo.

Dalam penanggulangan tindak pidana narkotika, penting bagi kita untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak keluar dari tujuan yang diinginkan oleh Undang-Undang (UU) No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU ini memberikan landasan bagi penegakan hukum narkotika di Indonesia dan perlu dipatuhi agar tujuan-tujuannya tercapai.

Secara preventif, penanggulangan tindak pidana narkotika menekankan pentingnya penyalahguna narkotika untuk melaporkan diri dan menjalani rehabilitasi.

Dalam hal ini, “wajib lapor pecandu” menjadi langkah yang harus dilakukan agar mereka bisa mendapatkan perawatan rehabilitasi.

Jika mereka melapor dan menjalani rehabilitasi, status pidana penyalahgunaan narkotika akan dinyatakan gugur, sehingga masalah pidana dapat diselesaikan tanpa memberikan hukuman (prevention without punishment).

Secara represif, penanggulangan tindak pidana narkotika hanya ditujukan kepada para pengedar narkotika.

Jika ada penyalahguna narkotika yang tertangkap bersama pengedar, proses peradilan akan dilakukan secara khusus dengan bentuk hukuman alternatif berupa rehabilitasi, sesuai keputusan atau penetapan hakim.

Dalam hal ini, hakim diwajibkan oleh UU untuk memperhatikan tingkat kecanduan pelaku penyalahgunaan narkotika (pasal 54) dan menggunakan pasal 103 sebagai acuan.

Hal ini bertujuan agar hakim dapat memutuskan atau menetapkan bahwa penyalahgunaan narkotika harus menjalani rehabilitasi, sesuai dengan tujuan UU narkotika tersebut.

Dalam penyusunan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pemerintah dan DPR secara eksplisit menyatakan tujuan pembuatannya dalam Pasal 4, yaitu:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu.

Namun, dalam praktiknya, penanggulangan masalah narkotika baik secara preventif maupun represif seringkali keluar dari batasan tujuan yang telah ditetapkan dalam UU narkotika tersebut.

Penyalahgunaan narkotika tidak mendapatkan pencegahan sekunder yang memadai, tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, dan tidak mendapatkan penyelamatan dari bahaya ketergantungan adiksi yang dialami (pasal 4 b). Selain itu, tidak ada jaminan yang pasti untuk mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4 d).

Sebaliknya, penyalahguna narkotika sering kali diperlakukan secara represif, ditahan selama proses peradilan, dan dijatuhi hukuman penjara sebagaimana halnya para pengedar (pasal 4 c) karena adanya malpraktik dalam penerapannya.

Akibatnya, terjadi masalah anomali di lapas, seperti kelebihan kapasitas hunian di lapas, adanya diskriminasi dalam bentuk hukuman bagi penyalahguna narkotika, sebagian besar dipenjara, sementara sebagian direhabilitasi, dan juga terjadi stigmatisasi terhadap penyalahguna narkotika.

Dalam langkah preventif, kebijakan hukum narkotika terhadap penyalahguna narkotika bagi diri sendiri harus mengutamakan langkah preventif daripada represif.

Salah satu langkah preventif yang penting adalah melalui wajib lapor pecandu, di mana penyalahguna narkotika diwajibkan oleh UU untuk melaporkan diri ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) guna mendapatkan perawatan rehabilitasi medis dan sosial untuk sembuh dan pulih, serta mencegah pengulangan perbuatan yang sama.

Bagi penyalahguna narkotika yang telah melaporkan diri, status pidananya akan dinyatakan gugur dan berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2).

Biaya rehabilitasi bagi mereka yang melaporkan diri menjadi tanggung jawab negara, karena negara memiliki kepentingan untuk membantu penyalahguna narkotika sembuh dari adiksi narkotika.

Namun, biaya rehabilitasi menjadi tanggung jawab keluarga atau individu yang bersangkutan jika status pidananya telah dinyatakan gugur dan berubah menjadi tidak dituntut pidana.

Oleh karena itu, penegak hukum dan penyelenggara negara lainnya harus mendorong penyalahguna narkotika untuk melaporkan diri guna mengubah status pidananya menjadi tidak dituntut pidana. Pada tahap ini, masalah pidana dapat diselesaikan.

Dalam langkah represif, penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri harus diperlakukan secara rehabilitatif. Tidak ada penahanan dan mereka harus ditempatkan di lembaga rehabilitasi atau rumah sakit.

Penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim harus berkewajiban menempatkan penyalahguna narkotika di lembaga rehabilitasi atau rumah sakit milik pemerintah selama proses pemeriksaan, dengan Surat Perintah resmi berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 13 Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor Pecandu.

Masa menjalani rehabilitasi atas perintah penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim selama proses pemeriksaan di semua tingkatan dianggap sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).

Khusus bagi hakim, UU mewajibkan mereka untuk menjatuhkan hukuman alternatif berdasarkan pasal 103/1 yang menyatakan bahwa:

  1. Hakim dalam memeriksa perkara pecandu (penyalahguna narkotika yang kondisinya dalam keadaan ketergantungan narkotika) “dapat” memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau
  2. Hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Hukuman rehabilitasi sebagai alternatif berdasarkan putusan atau penetapan hakim tersebut merupakan proses medis dan sosial, bukan pengekangan kebebasan atau hukuman penjara.

Dalam pendekatan yang seimbang, keberhasilan penanggulangan masalah narkotika ditentukan oleh sejauh mana langkah-langkah preventif terhadap penyalahguna narkotika dan langkah-langkah represif terhadap pengedar narkotika dilakukan secara seimbang.

Berdasarkan pendekatan yang seimbang ini, penyidik dan aparat penegak hukum lainnya seharusnya hanya fokus pada langkah-langkah represif terhadap pengedar dan tidak memperlakukan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri secara represif.

Hal ini dikarenakan solusi terhadap masalah penyalahgunaan narkotika telah diantisipasi melalui langkah pencegahan tanpa hukuman.

Langkah-langkah represif terhadap penyalahguna narkotika menyebabkan anomali di lembaga pemasyarakatan, diskriminasi dalam bentuk hukuman, stigmatisasi negatif terhadap penyalahguna narkotika, tingkat kekambuhan penyalahgunaan narkotika, dan juga menghabiskan sumber daya keuangan negara.

Mari kita sambut Hari Anti Narkotika Internasional 2023 dengan baik. Bersama Partai Perindo, mari kita cegah, lindungi, dan selamatkan generasi muda dari penyalahgunaan narkotika, serta berantas peredaran narkotika.

HANI 2023: Penegakan Hukum Narkotika Jangan Keluar dari Tujuan UU no 35 tahun 2009 Tentang Narkotika – Harian Kami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.