TIRAS — Kolom — Riyanto (Dosen Stikom InterStudi, Jakarta)
Riyantocawas67@gmail.com
“Setiap berpikir Sumber Daya Manusia, pada saat itu pulalah secara langsung di hadapkan kepada sebuah pertanyaan tentang Generasi Muda Bangsa? Seperti apakah relevansinya?
Dalam tahunan, tanggal 25 November selalu dihadapkan pada peringatan hari Guru.
Siapakah guru yang dimaksud? Secara umum guru adalah tenaga professional yang diberikan tugas untuk mendidik, mengajarkan ilmu, memberikan bimbingan, mengajarkan etika, memberikan evaluasi sampai kepada penilaian yang pantas untuk anak didik.
Seribu harapan yang di tujukan kepada guru, seribu kecaman pula yang diperoleh sebagai guru. Belum lagi masalah yang ada pada guru itu sendiri.
Kalau guru didefisikan sebagai seseorang yang telah mengbdikan dirinya untuk mengajarkan suatu ilmu, mendidik, mengarahkan dan melatih muridnya untuk dapat memahami suatu ilmu yang diajarkannya, bagaimana peran orang tua dan lingkungan.
Kalau meminjam istilah “minum kopi”, di sana ada unsur air, unsur kopi dan unsur rasa, yang di tempatkan dalam suatu tempat sehingga akan terbentuk, secangkir kopi atau segelas kopi. Unsur – unsur yang ada didalamnya bekerjasama, sehingga menghasilkan suatu sinergi yang membentuk suatu mutu, atau rasa yang mendatangkan selera.
Tetapi suatu ketika bisa saja salah satu unsur menjadi dominan?
Pasti akan timbul pertanyaan – pertanyaan yang sambut bergayut. Kalau secangkir kopi dipinjam sebagai model pendidikan, sudah pasti kerjasama dan harmonisasi menjadi sebuah syarat untuk menjadikan kopi tadi mengundang selera.
Pendidikan akan selalu melibatkan orang tua, guru, lingkungan dan metodologi. Orang tua sebagai agen sosialisasi perubahan pada anak di tingkat pertama akan segera melepas tugas dan tanggungjawab pendidikan kepada guru di sekolah, ini berarti ada keterbatasan yang dialami oleh para orang tua dalam hal mendidik anak untuk masa depan anak yang sekaligus generasi penerus.
Pada titik ini orang tua sudah semestinya memberikan porsi kepercayaan kepada guru, tidak lebih dari itu. Sehingga peran guru bisa netral dan tidak ada intervensi dari manapun.
Jika peran guru mendapat intervensi, maka sudah pasti tidak pernah berjalan sesuai dengan koridor dan mekanisme tentang pembelajaran dan pengajaran dan dapat dipastikan hasil akhirnya juga tidak netral, sehingga menghasilkan porsi yang proporsional.
Pada tingkat perubahan sosialisasi yang kedua inilah, peran guru di sekolah menjadi suatu beban dan sekaligus harapan seluruh bangsa dan masa depan bangsa tercinta ini.
Karena di tempat ini, kawah Chandadimuka-nya para generasi muda untuk mendapat tempaan, gemblengan, binaan dan sekaligus pembelajaran ilmu pengetahuan dan sikap yang harus terjadi secara berkesinambungan antara guru dan murid.
Pada posisi ini transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan sedang terjadi antara guru dan murid.
Pada saat seperti inilah, peran serta masyarakat untuk tetap membantu, mendorong dan mensupport presesi itu berjalan sesuai dengan porsinya yang akan menghasilkan sebuah kematangan sikap dan perilaku yang nantinya akan diaplikasikan sebagai tugas mengisi dan melanjutkan kemerdekaa sebagai perjuangan bangsa Indonesia.
Jika prosesi itu normal, sesuai dengan koridor dan porsinya, sudah dapat dipastikan pendewasaan anak didik secara psikologi terjawab sudah.
Dan, ketika kembali pada lingkungan sudah dipastikan mampu memberikan warna kehidupan dalam lingkungannya, sehingga pejalanan sosialisasi pendewasaan anak berjalan berkesinambungan dari masa kecil bersama orang tua, di lingkunagn sekolah dan kembali lagi ke lingkungan tempat tinggal mampu mewujudkan apa yang diimpikan selama ini.
Tuntutan pendidikan bukan pada nilai baik yang diterima, tetapi juga kepada sikap dan penguasaan ilmu pengetahuan serta penerapan keterampilan kepada teknologi yang mampu diserap dalam lingkungan pendidikan dan diaplikasikan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kegunaannya.
Memang peran guru adalah, mengajar peserta didik, mendidik para murid, melatih untuk memberikan ketrampilan, membimbing dan mengarahkan, serta memberikan motivasi dan dorongan.
Sehingga, subjektivitas guru akan sangat terasa ketika usaha – usaha yang dilakukan guru dalam mendidik dan mengajarkan ilmu kepada para muridnya. Hal ini sudah pasti akan berbeda ketika guru sebagai pendidik, sebagai pengajar, sebagai pembimbing, sebagai motivator, sebagai teladan, sebagai administrator dan sebagai evaluator, atau mungkin masih ada tugas lainnya.
Padahal berpijak kenyataan yang ada, seberapakan besar benefit yang di terima sebagai guru yang dikatakan mulifungsi /multitask. Kalau dinilai dari kewajaran akan sedikit sekali orang yang mau menekuni profesi sebagai guru.
Dan bahkan, akan lebih banyak orang yang melakukan ceramah lepas membahas persoalan secara khusus dengan suatu kajian tertentu dari pada menjadi guru yang banyak titipan tugas namun kasat mata, dengan standar yang sama.
Namun terkadang, masih harus menghadapi hal – hal berkaitan dengan masalah keadilan, misalnya harus berada di daerah yang terbelakang, terluar atau terbelakang untuk memerangi ketertinggalan, keterbelakangan yang diharapkan dapat mengimbangi sebagaian dari mereka yang tinggal di kota modern, serba tercukupi di lingkungan yang modern.
Profesi guru adalah panggilan jiwa dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mengerjar ketertinggalan sampai bisa sejajar dengan bangsa – bangsa lain merupakan kerangka kerja jangka panjangnya.
Panggilan jiwa itu juga sudah pasti ada pelipur lara bagi guru, karena selama ilmu pengetahuan, ketrampilan itu tetap hidup dan terpelihara dalam diri anak didik.
Di situ jualah, keluh kesah guru akan terobati. Semoga insan guru tetap menjadi manusia pilihan dalam mensukseskan pembangunan Sumber Daya Manusia yang amanah dan hasalah.
majalahmatra.com