Dewan Pers Buat Aturan Baru Media Harus 10 Wartawan, Benarkah?

oleh -30 Dilihat
oleh
Dewan Pers Buat Aturan Baru Media Harus 10 Wartawan, Benarkah?

TIRAS.id –– Simak Tulisan Ini Yang Viral:

Kalangan pemilik dan pengelola media pers di tanah air, kurun tiga bulan terakhir kini resah nan gelisah.

Kenapa?

Itu lantaran adanya peraturan baru dari Dewan Pers No. 1/Peraturan DP/1/2023 tentang pendataan perusahaan pers, yang berlaku mulai Januari 2023 dan ditantangani oleh Plt Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya.

Sepintas tidak ada yang berbeda antara peraturan DP yang baru ini, terdiri dari 10 Bab 33 Pasal, dengan peraturan DP yang sebelumnya diterbitkan.

Semuanya mengatur tentang tatacara mendaftarkan dan persyaratan kelengkapan dokumen perusahaan pers yang harus dipenuhi (diupload) melalui form online dewan pers.

Selanjutnya, data perusahaan ini akan diverifikasi oleh petugas di DP. Dalam kurun waktu beberapa hari, jika persyaratan dianggap lengkap, maka nama media dan perusahaan pers yang menaungi akan tercantum pada website resmi dewanpers.or.id, sehingga gampang diketahui publik.

Namun ada satu hal dari peraturan baru ini yang sedikit berbeda, dan itu diyakini bakal menjadi ‘Batu Sandungan’ bagi perusahaan baru modal kecil yang ingin mendaftar, bahkan perusahaan lama yang sudah terverifikasi, baik Admistratif maupaun Faktual, pun akan kelimpungan dengan persyaratan ini.

Masalahnya, setiap perusahaan pers harus mendaftar ulang kembali paling lambat akhir tahun 2023.

Apakah batu sandungan itu?

Dia tidak lain adanya ketentuan mengenai perlindungan wartawan/karyawan, dimana Dewan Pers mewajibkan perusahaan media, baik online, cetak dan elektronik mendaftarkan perusahaan dan karyawannya, minimal 10 orang pada BPJS Ketenagakerjaan.

Padahal, sebelumnya perusahaan hanya diwajibkan memiliki sertifikat terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan mendaftarkan wartawannya minimal dua orang saja, tidak harus sampai 10 orang.

Bagi perusahaan pers modal besar dan sudah memiliki pendapatan yang mumpuni, mungkin mendaftarkan wartawannya lebih dari 10 orang pun tidak masalah.

Tapi bagi perusahaan pers yang baru mau berdiri dengan modal kecil, apalagi media online di daerah yang rata-rata bermodal awal Rp 50 Juta ke bawah, tentu ini tidak mudah untuk dipenuhi.

Para pemilik dan pengelola media, tentu saja merasa berat dengan pemberlakuan persyaratan ini. Apalagi premi BPJS Ketenagakerjaan saat ini, tarifnya lumayan tinggi. Yaitu antar Rp 200 Ribu hingga Rp 250 Ribu per orang.

Itu artinya, perusahaan pers paling sedikit harus mempekerjakan karyawan/wartawan minimal 10 orang dan setiap bulan harus menyediakan dana Rp 2,5 juta untuk membayar kewajiban BPJS-nya.

Memang, ini adalah perintah Undang-undang agar setiap tenagakerja terlindungi hak-haknya jika mengalami eksiden. BPJS akan meng-cover asuransi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan.

Selain itu ada juga jaminan Hari Tua dan Asuransi Kematian. Tapi pertanyaannya bagaimana jika perusahaan pers itu hanya dikelola oleh dua atau tiga orang saja.

Apakah ia dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendaftarkannya ke Dewan Pers dan harus menunggu sampai mampu mempekerjakan 10 orang?

Di banyak daerah, tidak sedikit media online yang hanya dikelola oleh tiga dan empat orang saja. Rata rata pengelolanya adalah wartawan senior yang bergabung lalu mendirikan perusahaan.

Dengan memanfaatkan jaringan nara sumber, mereka bisa menghasilkan puluhan berita setiap hari, dengan model wawancara by phone atau via wathapps.

Sehingga tidak perlu mempekerjakan banyak orang, karena memang pemasukan perusahaan tidak mendukung untuk itu.

Hidup Segan Mati Tak Mau

Berbicara kelangsungan hidup media pers, sebenarnya Dewan Pers juga harus peka terhadap kondisi yang terjadi saat ini. Terutama di daerah.

Dimana sudah tak sedikit media massa tertuma media lokal online dan cetak yang “bangkrut” lalu berhenti terbit, karena pasar iklan sudah redup, bahkan memasuki masa kegelapan. Bak pepatah Hidup Segan Mati tak Mau”.

Hal itu tentu akibat gencarnya media sosial dan semakin suburnya jurnalis warga atau netizen jurnalism, yang memanfaatkan flatform video medsos yang memang lebih unggul dan cepat saji.

Profesi kewartawanan pun juga sudah tergerus oleh jurnalisme warga ini.

Jadi, sangatlah tidak bijaksana jika Dewan Pers tidak membaca perkembangan dunia informasi sekarang ini, dengan membuat standar peraturan yang sama sekali tidak memberikan ruang bagi perusahaan media online kecil, yang saat ini jumlahnya ratusan ribu, untuk sedikit bernafas dan mencoba bertahan hidup.

Bukankah usaha kecil juga harus dibina bukan ‘dibinasakan’ dengan cara memaksanya mempekerjakan lebih dari 10 wartawan?

Dan perlu diketahui, hampir 90 persen media online yang masih bertahan hingga sekarang, hidupnya hanya mengandalkan kerjasama pemberitaan dengan pemerintah daerah masing-masing.

Baik itu dengan Pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk terjalinnya kerjasama, biasanya pemerintah daerah akan melihat status perusahaan media itu, sudah terverifikasi di dewan pers atau belum.

Jika belum terdaftar atau terverifikasi, biasanya tawaran kerjasama yang diajukan akan ditolak dan dianggap tidak memenuhi syarat, kendati sebenarnya DP sendiri tidak pernah memberikan rekomendasi apapun kepada pemerintah daerah terkait kerjasama publikasi kegiatan pembangunan daerah.

Sebaliknya, jika pun kerjasama itu disetujui, terkadang pembayaran atas kerjasama tersebut paling cepat tiga bulan sekali.

Lebih parahnya lagi, jika perusahaan pers itu tidak terverifikasi di dewan pers, sebagian publik mengganggap apa yang ditulis dan diberitakan media tersebut belum dapat disebut sebagai produk pers, karena badan hukum perusahaannya belum didaftarkan di Dewan Pers!

Pernyataan itu bermakna, seakan-akan pendaftaran badan hukum pers ke Dewan Pers menjadi salah satu syarat agar badan usaha pers dapat dikategorikan sebagai lembaga pers, sehingga produknya juga menjadi produk pers.

Dan itu berarti pula, jika tidak terdaftar di dewan Pers, maka legalitas perusahaan pers tersebut menjadi Abu-abu, meski memiliki akte pendirian, NPWP, Pengesahan Kemenkum HAM dan Pemrednya sudah wartawan utama.

Beberapa kali pihak penegak hukum manakala memeriksa kasus yang terkait dengan kasus pers berkeyakinan pula, selama sebuah badan hukum pers belum terdaftar di Dewan Pers, maka lembaga tersebut bukanlah lembaga pers.

Otomatis produknya juga bukan produk pers. Ujung-ujungnya polisi menegaskan dapat mengenakan pidana kepada badan hukum tersebut, antara lain dapat dijerat pasal-pasal Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Lalu akan dikemanakan kalimat bahwa Dewan Pers melindungi kemerdekaan pers, jika untuk mendaftarkan perusahaan supaya terverifikasi saja, persyaratannya sangat rumit dan berat?

Kembali ke Sejarah

Mengutip tulisan tokoh pers Indoensia Wina Armada Sukardi, pada Matranews.id ketika UU Pers dibahas di DPR, terjadi perdebatan alot antara pihak pemerintah dan anggota DPR serta beberapa orang tokoh pers yang mengikuti proses pembahasan UU Pers.

Waktu itu pemerintah bersikeras supaya pers wajib mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Dalam draf awal RUU tentang Pers, memang pemerintah memasukan pasal kewajiban pers mendaftarkan diri ke Dewan Pers.

Alasan pemerintah macam-macam. Antara antara lain disebut, dengan adanya pendaftaran badan hukum pers ke Dewan Pers dapat diketahui jumlah dan data pers nasional. Jadi pemerintah dapat punya data yang lengkap.

Kemudian diyakinkan. Soal pedaftaran perusahaan pers ke DP, juga cuma bersifat administratif dan tidak bersangkut paut dengan persoalan manajemen teknis perusahaan, soal gaji harus UMK, asuransi dan sebagainya, apalagi menyasar ke soal pemberitaaan redaksional.

Tapi faktanya semua argumentasi dimentahkan sendiri oleh Dewan Pers. dan Kekhawatiran kelak kewajiban pendaftaran ini, meski dikemas dengan kata ‘Pendataan’ justeru menjadi batu sandungan buat warga negara untuk mendirikan dan menjalankan perusahaan pers, sudah menjadi kenyataan.

Demikian pula pendataan perusahaan pers yang semula diniatkan cuma sebagai urusan administrasi, dalam praktekya sudah berubah menjadi salah satu syarat utama disahkannya sebuah badan usaha pers agar dapat dikategorikan sebagai produk pers.

Secara keseluruhan, sebenarnya kewajiban pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers bertentangan pasal 4 ayat 1 UU Pers menyatakan Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak-hak asasi warga negara.

Pendaftaran badan usaha pers ke Dewan Pers juga menabrak pasal 9 ayat (1) yang berbunyi, ”Setiap warga negara Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers.”

Kemudian jika menilik UU Pers, tidak ada satu pun pasal pun yang mewajibkan pendaftaran badan usaha pers kepada Dewan Pers, atau kepada pihak manapun.

Kendati pendaftaran badan usaha pers tidak wajib, tetapi ini tidak berarti Dewan Pers tidak dapat mengetahui dan mempunyai data mengenai pers Indonesia.

Pasal 15 ayat (2) huruf ‘g’ memberikan fungsi kepada Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers. Namun perlu ditekankan pendataan perusahaan pers ini bukanlah syarat sebuah badan usaha menjadi pers atau bukan.

Seperti tertuang dalam Peraturan Dewan Pers No 03/Peraturan- Dp/X /2019 tentang Standar Perusahaan Pers yang merupakan hasil perubahan dari Peraturan serupa sebelumnya. Pelaksanaan peraturan ini menjadi banyak yang salah kaprah.

Misalnya, Peraturan ini memasukan soal pendataan pada Pasal 22 dan Pasal 23 di Peraturan Dewan Pers ini menegaskan Dewan Pers melakukan pendataan perusahaan pers melalui verifikasi administrasi dan faktual.

Apa hubungan antara pendataan dengan standar perusahaan pers, termasuk dengan verifikasi administrasi dan faktual? Tidak ada.

Lebih kacau ini dalam Pasal 23 ditegaskan Dewan Pers berwenang mencabut verifikasi perusahaan pers yang enam bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan pers? Lho kan pendataan untuk kepentingan Dewan Pers sendiri, tetapi kok perusahaan yang sudah diverifikasi malah statusnya dicabut.

Ini terjadi lantaran Dewan Pers mencampuradukkan antara fungsi Dewan Pers melakukan pendataan dengan otoritas Dewan Pers membuat dan melaksanakan Peraturan tentang Standar Perusahaan Pers sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers.

Verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers harusnya menyangkut elemen-elemen yang diatur oleh Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers saja. Misalnya apakah sudah berbadan hukum atau belum.

Sudah ada penanggung jawab belum? Sudah jelas ada alamatnya belum? Dan sebagainya. Kalau soal pendataan, tidak ada kaitannya dengan Standar Perusahaan Pers. Hal itu dua hal yang berbeda.

Dengan begitu, cuma ada dua jenis perusahaan pers. Pertama perusahaan pers yang belum atau Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Standar Perusahaan Pers. Kedua perusahaan pers yang Sudah Memenuhi Syarat (MS).

Hanya perusahaan pers yang sudah memenuhi syarat Standar Perusahaan Pers yang dikategorikan perusahaan pers dan hasil karyanya merupakan karya jurnalistik

  • Dibawah Ini catatan pinggir S.S Budi Raharjo, Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia

Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orba, Benar atau Stigma?

Ini yang perlu diingatkan, Jangan sampai  Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orde Baru.

Kalau soal ulang tahun HPN 2023, seperti biasa, meriah.

Tapi sejatinya, bukan soal Presiden hadir atau tidak di acara itu. Jangan sampai, usai pesta, situasinya tak berubah.

Media massa di era digital masih seringkali oleh Dewan Pers membuat aturan yang mirip era jaman Orde Baru.

Bukannya Proaktif, Verifikasi Media Digital atau media cetak yang ada. Tapi, malah aturan yang membuat pers kapitalis, dengan aturan ini dan itu.

Media yang berintegritas tak masuk dalam verifikasi actual dan factual, karena tak punya modal.

Sementara itu, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang “lari” ke media sosial, blogger dan Youtuber

Jurnalisme, media dan tren teknologi sudah berlari meninggalkan hal-hal “lawas” semacam itu.

Ini perlu dicatat oleh pemerintahan Jokowi, sebelum keluarnya Perpres tentang Media Sustainability. Jangan hanya, media yang sudah terverifikasi di Dewan pers yang diutungkan saja, tapi harusnya iklim media massa keseluruhan.

Media massa baik digital atau  yang cetak belum diverifikasi Dewan Pers, banyak yang menerapkan kode etik jurnalistik dengan baik. Mereka sudah layak disebut pers.

Idealnya, tugas pers mengembangkan visi dan misi yang futuristik. Melampaui jaman kekinian, memang tak mudah.

Bukan hanya tampilan dan model jurnalisme, cara bertahan mencari pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran, yang terlanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri.

Media massa melakukan strategi reposisi merek, distribusi, promosi termasuk sumber daya manusia yang disebut profesional. Realitasnya, bisnis model media di revolusi teknologi, justru ter-disrupsi dalam pemasukan pendapatan.

Semua Terjadi Dengan Kecepatan dan Kompleksitas.

Teknologi 4.0 telah mengubah manusia dalam mengkonsumsi media. Jutaan berita dan informasi masuk ke medsos, menyebar dari satu grup ke grup media lain. Tim buzzer media, yang lebih menikmati untung saat ini.

Jurnalis media digital bukan pintar di dunia jurnalistik saja, tapi harus belajar dari “misteri” SEO (Search Engine Optimization), kata kunci, hastag, dan lain-lain, agar tulisannya di-klik banyak orang.

Tulisan tersebut di posting ke grup-grup media sosial yang punya fans, banyak anggotanya. Pasalnya, ponsel pintar memberikan kenyamanan dalam melihat berita, serba gratis pula.

Di tengah banjir informasi, media massa mainstream (cetak) menjadi clearing house — tempat orang mengecek informasi benar. Dimana, media cetak masih diminati karena lebih humanis, mendalam, kadang dijadikan sebagai souvenir dan dibaca kaum elit (premium). Apalagi investigasinya seru!

Apa lacur, banyak pemasang iklan bisnis, malah mengalihkan belanja iklannya ke medsos, bukan ke media digital. Padahal, media massa sudah woro-woro ikut memasuki konvergensi media.

Vlog hingga channel di TV digital dengan server pinjam atau titip ke Youtube, lebih diminati. Pemirsanya, kalau dengan tim buzzer bisa memiliki pemirsa hingga jutaan.

Seorang pakar humas mencatat, ada Youtubers, yang satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.

Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasim mengalir sangat deras. Facebook malah panen iklan, demikian Google.

Sekarang, publik adalah media! Dan kita, adalah jurnalis.

Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.

Eng-ing-eng. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) pernah melakukan survei internal, terhadap para pemimpin media.

Hasilnya menunjukkan, bahwa yang dianggap ancaman, bukan lagi sesama media massa, tapi kekuatan platform semacam Google, Youtube atau Facebook yang menyedot potensi belanja iklan.

Di tengah banyak media massa kesulitan membayar kesejahteraan SDM-nya dengan layak, aplikasi digital memudahkan setiap orang memiliki media massa sendiri. Perusahaan yang paling cerdas akan menggabungkan data dan algoritma dengan konten hebat.

Ekosistem industri pers memang sudah seharusnya terus ditata, baik dari sisi finansial maupun kontennya. Oleh karena itu, para pelaku di industri ini harus mampu memperbaiki segala kelemahan dan terus berinovasi.

#s.sbudirahardjo, #CEOeksekutif, #PemredMATRA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.