TIRAS.id — Amnesti masal yang akan diberikan kepada para penyalahguna yang saat ini mendekam di rumah tahan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas), sebagai wujud rasa kemanuasiaan dan keadilan.
Ini telah diperjuangkan oleh pengiat anti penyalahgunaan narkotika, dengan catatan diikuti upaya penyembuhan sakit ketergantungan narkotika secara berkesinambungan.
Saya mendukung gagasan Menteri Kumham, yang merencanakan pemberikan amnesti kepada penyalah guna yang ditahan dan dipenjara karena penyala guna narkoba.
Pasalnya, adalah mereka merupakan korban kejahatan dan juga orang sakit adiksi narkotika kronis, yang sifatnya kambuhan. Dan, dapat menyebabkan “sakau”, apabila tidak menggunakan narkotika.
Amnesti masal adalah terobosan legal akibat kebuntuan masalah peradilan yang justru sesuai dengan tujuan UU Narkotika.
Bahwa penyalahguna narkotika (drug user) dan pecandu (drug addiction) sebagai pelanggar hukum, dijamin undang undang mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (read: tujuan UU narkotika).
Rehabilitasi adalah, jenis sangsi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika. Dimana dalam UU narkotika dinyatakan, masa menjalani rehabilitasi dihitung sama dengan menjalani hukuman (pasal 103/2).
Rehabilitasi juga berarti proses kegiatan pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika dan proses proses pemulihan fisik, mental dan sosial. Agar dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam masarakat.(pasal 1 PP 25/2011).
Hukuman rehabilitasi adalah, proses perjuangan panjang melawan penyakit adiksi ketergantungan dan memulihkan kondisi fisik, mental kejiwaan dan perilaku sosialnya.
Oleh karena itu, ada pameo yang mengatakan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna “lebih berat” dari pada hukuman penjara.
Langkah terobosan Menkumham tersebut, saya katakan sebagai berkah “sekali mendayung tiga pulau terlampaui.
Di samping untuk mengurangi over capacity, juga untuk menghilangkan relap atau kambuh (bahasa kesehatan) di dalam penjara serta mencegah terjadinya residivisme (bahasa hukum) setelah keluar dari penjara.
Terobosan amnesti massal, mudah-mudahan terwujud.
Karena, sudah ada gayung bersambut dengan “angin perubahan” yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung, melalui hasil seminar yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.
Dimana, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali senada dengan Dirjend Lapas Sri Puguh Budi Utami berpendapat bahwa; “Rehabilitasi sangat effektif bagi penyalahguna narkotika, dibanding memenjarakannya.”
Tokoh hukum ini berpendapat, “Pemenjaraan bagi penyalahguna narkotika, tidak memberikan kesembuhan bagi penyalahguna di Indonesia.”
Menurut Dirjen Lapas, pihak pemasyarakatan lebih suka dan lebih bagus kalau pecandu narkoba direhabilitasi.
Para pejabat sejatinya mengakui, hal ini memudahkan para narapidana narkotika untuk kembali pulih.
“Nah, kalau mereka di dalam penjara terus, sementara tidak direhab-rehab ya beban negara lebih berat lagi tanggung jawabnya,” tutur mereka.
Sedangkan menurut Ketua MA, penyalah guna narkotika jangan dimasukkan ke penjara. Walaupun bertahun-tahun dipenjara, mereka itu tidak akan sembuh, padahal mereka sendiri adalah korban.
Jadi, efektifnya penyalahguna narkoba itu direhabilitasi.
Tetapi, “Kalau bagi pengedar atau bandar narkoba, ya itu harus dipenjara,” kata Hatta Ali saat ditanya jurnalis media Sinar Baru Pagi.
Pernyataan ini dipaparkan, setelah selesai di acara Seminar Nasional dengan tema efektivitas rehabilitasi sebagai pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika di Hotel Holiday Inn Kemayoran, Rabu (27/11/19).
Perkara Nunung dan Jefri Nichol bisa menjadi contoh
Akhir-akhir ini, Hakim yang memegang “palu” mulai berubah, dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi terhadap perkara penyalah guna.
Contoh, sebut saja perkara komedian Nunung dijatuhi hukuman selama 1,5 tahun menjalani rehabilitasi. Demikian juga artis Jefri Nichol, dihukum menjalani rehabilitasi tujuh bulan di RSKO, oleh hakim Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan.
Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi, kepada hakim yang menangani Nunung dan Jefri. Apapun tuntutannya, kalau perkaranya menyangkut kepemilikan narkotika untuk digunakan sendiri, hukumannya wajib menjalani rehabilitasi.
Ini adalah keputusan spektakuler yang menjukirbalikan keputusan hakim selama ini.
Sehingga, menurut saya, perlu dipublikasikan kepada seluruh masyarakat termasuk penegak hukum, mulai dari penyidik narkotika, jaksa penuntut dan hakim.
Kenapa?
Agar mereka-mereka, mengetahui bahwa penyalahguna dalam proses penegakan hukum bersifat rehabilitatif.
Artinya, peran penyalah guna dan pengedar harus dibedakan, terhadap penyalahguna tidak boleh dituntut dengan pasal subsidiaritas dengan pasal pengedar.
Karena beda tujuan (read: pasal 4), tidak memenuhi sarat dilakukan penahan (pasal 21 KUHAP) dan hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103)
Selama proses pemeriksaan Nunung dan Jefri, mestinya baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta pengadilan berdasarkan ketentuan di “tempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi” sebagai kewajiban penegak hukum (pasal 4 dan pasal 13 PP 25 tahun 2011).
Sayangnya, blanco administrasi penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi sampai sekarang belum ada. Dan, tidak dikenal di lingkungan penyidik, penuntut dan hakim.
Kedua, keputusan hakim tentang penjatuhan hukuman rehabilitasi perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Ini agar mereka mendapatkan pembelajaran, bahwa penyalahguna adalah kriminal. Tapi, wajib ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan dan wajib dihukum rehabilitasi.
Kok demikian ?
Ya, karena penyalahguna berpotensi menjadi pecandu. Dan, apabila dimintakan visum atau di-assesmen akan berubah sebutannya menjadi pecandu, yang berdasarkan pasar 54 wajib menjalani rehabilitasi.
Oleh karena itu, cara memandang kejahatan penyalahgunaan narkotika harus berubah mulai penyidik, jaksa dan hakim serta masyarakat.
Bahwa, penyalah guna narkotika itu seorang kriminal yang tidak harus ditahan dan dihukum penjara. Tetapi, pandanglah penyalah guna itu sebagai korban kejahatan.
Penyalahguna adalah seorang pelaku kejahatan yang sedang sakit, terbukti salah atau tidak terbukti salah, wajib dihukum dengan hukuman rehabilitasi.
Hukuman rehabilitasi, dengan pendekatan medis dan sosial menurut perundang undangan Indonesia, hanya bagi penyalahguna narkotika.
Bagi pengedar narkotika, pendekatannya bersifat represif.
Maksudnya?
Mereka tidak hanya dihukum penjara atau mati. Tetapi, juga dituntut dan dihukum dengan tindak pidana pencucian uang, agar dapat memutus jaringan bisnis narkotikanya.
Ini, adalah misi utama yang menjadi tugas pokok penyidik, penuntut dan hakim dalam memberantasan peredaran gelap narkotika.
Tugas menangkap, menyidik, menuntut dan mengadili perkara penyalah guna itu tugas perbantuan yang bersifat rehabilitatif kepada pengemban fungsi rehabilitasi, bukan tugas utama loh!
Jadi,. tugas utama penyidik, ya menangkap pengedar dan memutus jaringan perdaran gelap narkotika.
Penanggulangan penyalah guna, menjadi tugas utamanya orang tua pecandu dan pengemban fungsi rehabilitasi.
Kalau orang tua pecandu hukumnya wajib, orang tua yang tidak melaporkan anaknya yang menjadi pecandu, guna mendapatkan penyembuhan diancam dengan pidana 6 bulan kurungan.
Pengemban fungsi rehabilitasi adalah BNN sebagai kordinator dan pelaksana, Kemenkes sebagai regulator dan pelaksana rehabilitasi medis, Kemensos juga sebagai regulator dan pelaksana rehabilitasi sosial.
Ada loh, penyalahguna yang berperan sebagai pengecer. Sebagai akibat, dari sakit adiksi yang tidak mendapatkan hak untuk sembuh, kemudian terpaksa harus membantu pengedar untuk sekedar dapat uang untuk beli narkotika.
Ada juga, penyalah guna yang terpaksa membantu pengedar untuk menjualkan narkotika dengan sistem 10.2 . Artinya, kalau laku 10 bungkus kecil narkotika, diberi 2 bungkus sebagai upah untuk dipakai sendiri.
Hal tersebut, terjadi karena kesalahan kita tidak segera merehabilitasi agar sembuh
Apakah penyalah guna yang begitu yang jadi alasan mereka dipenjara karena dianggap sebagai pengedar?
Yang jelas, hati saya menangis kalau penyalah guna ditahan dan dihukum penjara.
Karena saya tahu, duduk perkaranya: Mereka itu korban kejahatan. Mereka orang sakit adiksi kecanduan narkotika. Mereka ingin sembuh. Hidup mereka sudah hancur. Tapi, kok masih dipenjara!”