[ad_1]
Jakarta, CNBC Indonesia – Industri tekstil masih menghadapi situasi sulit di awal tahun 2023. Kalangan pengusaha mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik garmen yang tutup dan dijual. Bahkan mesin-mesin diobral dan dilego keluar negeri.
Imbasnya, para pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Jumlahnya sangat banyak, ratusan ribu orang.
Sementara itu, para pekerja yang tidak terkena PHK juga belum tahu nasib mereka seperti apa. Belum ada informasi mereka untuk kembali lagi bekerja.
Para pemilik pabrik masih menunggu situasi membaik, terutama dari permintaan ekspor. Hingga kini masih banyak pekerja tekstil yang belum kembali ke pabrik dan bekerja, padahal kurang dari dua bulan lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan dan Lebaran.
“Belum ada penambahan PHK, masih 100 ribuan pekerja, tapi yang dirumahkan belum ditarik lagi. Karena permintaan ekspor belum naik signifikan, dan dalam negeri wait and see, belum ada penambahan,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia, Jumat (3/2/23).
Jumlah PHK tersebut baru mencakup industri menengah dan besar. Jika menghitung industri skala kecil hingga UMKM seperti tukang jahit, jumlahnya bisa lebih besar dari itu.
Foto: Sebuah pabrik Garmen di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Dijual di toko online dengan harga 17M. (Dok. rumah123.com) |
Harapan pengusaha bukan dari permintaan ekspor pasar Eropa dan Amerika, melainkan dari dalam negeri. Sayangnya, itu tidak mudah mengingat mendekati lebaran biasanya barang impor kerap membanjiri pasar.
“Karena sejujurnya trust kita ke domestik market kurang, karena domestik kadang-kadang banjir impor banyak, jadi gak stabil,” kata Redma.
Sebelumnya, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia mengungkapkan industri tekstil makin kesulitan belakangan ini karena permintaan ekspor yang jauh menurun. Dampaknya terlihat dari semakin banyaknya pabrik garmen yang tutup dan dijual ke pasaran
Menurutnya, industri tekstil memang menanggung banyak beban. Sebagai industry padat karya, gaji karyawan merupakan salah satu unsur terbesar. Selain itu, pinjaman ke bank juga menjadi beban yang harus ditanggung pelaku usaha.
Dunia usaha pun harus berputar otak agar tidak semakin banyak pabrik garmen yang dijual. Apalagi, pengusaha juga tidak menutup kemungkinan fenomena ini bakal terus berlanjut. Pemerintah selaku regulator pun harus cepat mengambil tindakan.
Foto: Sebuah pabrik Garmen di Rawa Buaya, Jakarta Barat, Dijual di toko online dengan harga 17M. (Dok. rumah123.com) |
“Potensi ekspor melemahnya sesaat harusnya. Ini lebih ke arah komitmen hollistic regulasi,” kata Anne.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menjelaskan, pabrik-pabrik tersebut dijual karena pemilik sudah tak bersemangat.
“Sebabnya bermacam-macam, utilisasi rendah, tidak bisa bersaing, akhirnya merugi, dan berujung ada yang tidak bisa bayar ke Bank,” kata Jemmy.
Dia menambahkan, pabrik-pabrik tersebut ada yang dijual karena efek anjloknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional di tahun 2022, tapi ada juga kena efek domino kondisi sebelumnya.
“Industri kuncinya market. Industri TPT Indonesia sebenarnya orientasi local market jauh lebih besar dari ekspor. Ekspor hanya di kisaran 30%, lokal 70%. Negara Produsen TPT dunia juga melirik market TPT Indonesia yang begitu besar,” katanya.
Akibat menurunnya ekspor dan banyak faktor lain, kini banyak pabrik garmen dijual dengan harga di bawah pasar. Salah satunya lokasi ex pabrik subkont garmen di Cigombong Sukabumi dijual dengan nilai Rp 17 miliar. Luas tanahnya 4500 m2 dan luas bangunan 3500 m2. Adapun legalitasnya adalah Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Dijual ex pabrik subkont garmen, lokasi strategis, harga di bawah pasaran. Nego dengan ownernya,” tulis penjual dilansir dari OLX.
Artikel Selanjutnya
Lonceng Kematian Terjadi, Pabrik Garmen Tutup & PHK Karyawan
(fys/wur)
[ad_2]
Source link