Najwa Shihab Dan Narasumber ‘Kursi Kosong’

oleh -495 Dilihat
oleh

 Mohon dicatat baik-baik: Tulisan ini adalah opini pribadi saya sebagai seorang jurnalis, yang mencoba melihat kejadian ini dari perspektif relasi antara seorang jurnalis dan narasumber. Bukan tafsir menafsir lain, apalagi politik .

#ferdinandlamak
TIRAS.id — Ramai benar reaksi publik di jagat maya atas aksi Najwa Shihab melakukan wawancara dengan kursi kosong yang ia perlakukan sebagai sebuah kursi yang diduduki oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Kejadian dalam program Mata Najwa, episode ‘Menanti Terawan’ tayang Selasa, 29 September 2020.

Najwa Shihab memang kondang.

Wawancaranya dengan para narasumber, mampu menggetarkan negeri ini. Quotes-quotes yang sering ia ungkapkan, inspiratif.

Cantik, tak berhijab namun ia puteri seorang tokoh Quraish Shihab.

Apa yang dialami oleh Najwa Shihab, sesungguhnya?

Undangan yang dikirim berkali-kali kepada Menkes Terawan untuk menjadi narasumber atau tamu dalam programnya, tak pernah dipenuhi. Terawan tak pernah datang.

Padahal, ada banyak hal yang hendak ditanyakan, untuk dijelaskan oleh Pak Menkes kepada publik, apalagi dalam suasana pandemi seperti ini.

Apakah penting bagi Terawan untuk berbicara di Mata Najwa?

Menurut saya, penting karena program ini memiliki audiens yang tidak sedikit dan mereka butuh informasi yang datang dari orang nomor satu di bidang kesehatan, negeri ini.

Sesungguhnya apa yang dialami oleh Najwa Shihab, hampir pernah dialami oleh semua jurnalis, dari jenis media apa saja.

Baik permohonan wawancara, apakah melalui media penghubung seperti telepon, email, maupun wawancara langsung dengan didatangi atau mendatangi.

Jika karena penting kehadiran seorang Menkes di Mata Najwa, lantas salahkah Terawan jika enggan hadir – karena alasan apapun- hingga disindir dengan cara yang oleh sebagian orang disebut ‘elegan’ itu?

Menurut saya, tidak juga. Sepenting apapun, toh Terawan juga punya hak untuk memilih mau berbicara atau tidak berbicara kepada publik melalui media.

Dia tidak punya kewajiban untuk memenuhi setiap undangan, sebagaimana hak-nya juga untuk memilah mana yang dipenuhi dan mana yang tidak perlu dipenuhi.

Lantas, apakah karena berkali-kali tidak memenuhi undangan Najwa Shihab, lantas layak diperlakukan ‘sebagai kursi kosong’?

Ya, mantan presenter MetroTV ini memperlakukan kursi kosong itu sebagai Terawan, yang disodori sejumlah pertanyaan tanpa dijawab sama sekali.

Sarkastis?

Iya, mungkin sebagian menganggap ini sebagai sesuatu yang elegan, tetapi ada yang bisa saja mengatakan ini sebagai sebuah tidakan yang tidak etis.

Pernahkah Anda membaca berita di media cetak atau online, dengan bunyi kurang lebih seperti ini: “Terkait dengan keterangan Najwa Shihab, reporter media ini belum berhasil mendapatkan penjelasan yang detail dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.”

Atau, “Terkait dengan keterangan Najwa Shihab, reporter media ini mencoba menghubungi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk mendapatkan klarifikasi namun hingga berita ini diturunkan, upaya ini belum direspons.”

Boleh jadi, dalam contoh diatas, Menkes Terawan menolak untuk memberi komentar, bukan karena sibuk atau tidak sempat menjawab si reporter.

Sama seperti ia menolak hadir dalam program Mata Najwa.

Tetapi apakah si reporter atau editor dalam contoh di atas, mempermalukannya dengan diksi yang tidak patut, sebagaimana dalam bentuk lain, Najwa Shihab menempatkannya setara dengan kursi kosong?

Sama seperti narasumber yang siap ‘dikuliti’ wartawan, atau pejabat publik yang siap dikecam oleh masyarakat,

Najwa pun demikian. Sebagai seorang jurnalis yang sudah 20 tahun menjalani profesi ini, mestinya ia menyadari bahwa bukan sebuah kewajiban bagi narasumber untuk hadir memenuhi undangannya.

Sebagaimana, bukan keharusan bagi narasumber untuk menjawab pertanyaan dari wartawan.

Saya tarik sedikit peristiwa Najwa Shihab ini ke konteks yang lebih lokal, di kampung saya: Flores Timur dan Lembata…

Musim-musim ini, diskusi di media sosial tentang kedua kabupaten itu cukup ramai. Flotim, salah satunya tentang dugaan pelanggaran hukum dalam program magang ke Jepang dan Taiwan, sementara di Lembata ada kasus Awololong dan sejumlah kasus lainnya.

Sebagai pengasuh ruang diskusi daring via Zoom: Visi Flotim dan Save Lembata, saya tidak bisa memaksa, apalagi mengumbar kekecewaan saya ketika narasumber kunci dari pemerintahan di kedua kabupaten itu selalu menolak untuk mejadi narasumber membahas kasus-kasus yang disebutkan diatas.

Misalnya, ketika hendak membahas implikasi hukum dari persoalan magang melalui webinar saya lalu mengontak Kabag Hukum Pemkab Flotim untuk menjadi salah satu pembicara sebagai pihak yang terkait langsung dengan persoalan ini.

Ketika pada akhirnya sang Kabag Hukum tidak bisa memenuhi undangan saya, ya tidak ada jalan lain selain menghargai itu.

Boleh jadi karena pihak Pemkab Flotim menganggap tidak penting untuk berbicara di ruang diskusi yang saya pandu.

Demikian pula, dalam sejumlah persoalan di Lembata. Ada pejabat publik yang sudah sekira 3-4 kali saya undang menjadi narasumber namun selalu gagal karena jadwal beliau yang padat.

Apakah pejabat tersebut patut dijadikan bahan olok-olokan atau dipermalukan sebagaimana Terawan?

Tidak perlu juga, karena bagaimana pun media membutuhkan narasumber dari kelompok manapun untuk memberikan penjelasan kepada publik. Jika tidak hari ini, mungkin besok-besok.

Lobi dan jaringan adalah satu bagian yang sering menjadi tolok ukur kemampuan seorang jurnalis menembus narasumber. Lobi tidak harus dengan ‘bermain mata’ atau ‘transaksional.’

Menjadi jurnalis yang jauh dari urusan amplop atau sejenisnya pun bisa membangun lobi dan jaringan yang baik dengan para narasumber.

Kembali ke soal Mata Najwa dan Menteri Terawan, menurut saya sederhana saja.

Kata kuncinya, saling menghargai profesi dan posisi masing-masing.

Jika Menkes merasa Program Mata Najwa adalah sebuah kanal yang baik untuk membangun komunikasi dengan publik, ya hargailah, berusahalah memenuhi undangannya.

Sebaliknya, pun demikian. Mata Najwa pun penting untuk menempatkan posisinya setara dengan media/program lain yang mungkin saja sulit untuk mendapatkan kesediaan narasumber tertentu memberikan waktu, statemen atau respon.

Sebagai pejabat publik, siapapun dia, ia punya kebebasan untuk memilih kepada media mana dia mau berbicara.

Sekalipun tentu ini rasanya sungguh tidak adil bagi sebagian media lainnya.

Idealnya tidak seperti itu.

Ini pandangan pribadi saya sebagai seorang wartawan yang seangkatan dengan Najwa Shihab, bukan soal rembesan politik dari kejadian ini tetapi murni soal relasi interaksi profesional jurnalis dan narasumbernya.

Silahkan ditanggapi jika ada yang berbeda…

 

Pak Terawan, waktu dan tempat dipersilakan…

Teman-teman, cukup banyak alasan mengapa diperlukan kehadiran pejabat negara untuk menjelaskan kebijakan yang berimbas kepada publik. Mengundang dan/atau meminta pejabat untuk menjelaskan kebijakan yang diambilnya adalah tindakan normal di alam demokrasi. Jika tindakan itu dianggap politis, penjelasannya tidak terlalu sulit.

Pertama, jika “politik” diterjemahkan sebagai adanya motif dalam tindakan, maka undangan untuk Pak Terawan memang politis. Namun tak selalu yang politik terkait dengan partai atau distribusi kekuasaan. Politik juga berkait dengan bagaimana kekuasaan berdampak kepada publik. Kami tentu punya posisi berbeda dengan partai karena fungsi media salah satunya mengawal agar proses politik berpihak kepada kepentingan publik.

Kedua, setiap pengambilan kebijakan diasumsikan adalah solusi atas problem kepublikan. Siapa pun bisa mengusulkan solusi, namun agar bisa berdampak ia mesti diambil sebagai kebijakan oleh pejabat yang berwenang, dan mereka pula yang punya kekuasaan mengeksekusinya. Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah presiden, dialah yang menentukan solusi mana yang diambil sekaligus ia pula yang mengeksekusinya.

Ketiga, tak ada yang lebih otoritatif selain menteri untuk membahasakan kebijakan-kebijakan itu kepada publik, termasuk soal penanganan pandemi. Selama ini, penanganan pandemi terkesan terfragmentasi, tersebar ke berbagai institusi yang bersifat ad-hoc, sehingga informasinya terasa centang perenang. Kami menyediakan ruang untuk membahasakan kebijakan penanganan pandemi ini agar bisa disampaikan dengan padu. Bedanya, media memang bukan tempat sosialisasi yang bersifat satu arah, melainkan mendiskusikannya secara terbuka.

Keempat, warga negara wajib patuh kepada hukum, tapi warga negara juga punya hak untuk mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh negara. Warga boleh mengajukan kritiik dalam berbagai bentuk, bisa dukungan, usulan, bahkan keberatan. Padu padan dukungan, usulan, atau keberatan itu tak ubahnya vitamin yang — kadang rasanya dominan pahit tapi kadang juga manis — niscaya menyehatkan jika disikapi sebagai proses bersama.

#MataNajwaMenantiTerawan #CatatanNajwa

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.